“Mualaf” NU

Ilustrasi: bisnis.com

Beberapa waktu yang lalu saya ditanya salah seorang mitra dalam berjualan. “Kak, saya ini kan orang NU yang baru. Tadi sebelum saya ke sini kebetulan salat Jum’at di masjid Muhammadiyah. Bagaimana hukumnya kak?” Begitu kurang lebih pertanyaan yang dilontarkan kepada saya di sela-sela mengantarkan pesanan di rumah bapak saya. 


Mendengar pertanyaan itu saya didampingi dengan seorang teman menjawab dengan santai. “Kalau menurut saya sich tidak apa-apa. Saat kita menunaikan salat meski ada beberapa perbedaan tentu tidak mengapa. Misal azan dikumandangkan satu kali, saat membaca surat al fatihah bacaan basmalahnya tidak dibaca keras, saat salam juga ada perbedaan. Dan seterusnya. Yang penting saat kita menunaikan shalat untuk tata cara tetap mengikuti ajaran yang kita anut,” jawabku kepada bapak tersebut. 


Sebenarnya saat saya ditanya bapak itu, saya juga mau giliran bertanya, kenapa tanya hal itu kepada saya? Tapi pertanyaan itu tidak jadi saya lontarkan. 


Saya apresiatif dengan dia. Karena menunjukkan warga NU yang tidak fanatik. Di sela-sela jagong santai, saya mecoba bertanya tentang latar belakang pendidikannya. Ternyata bapak dua anak tersebut jenjang pendidikannya sekolah negeri SMP negeri, dan SMA negeri. 


Meski jenjang pendidikannya ditempuh di sekolah negeri, namun dirinya beruntung dilahirkan dari salah satu kampung di Kudus tempat lahir ulama terkemuka. Sehingga dari situ ia memiliki guru yang mengajaknya bergabung di jamaah alkhidmah, dan masih bergabung hingga sekarang. (Syaiful Mustaqim)

Previous
Next Post »