Fotokopi Diperkecil dan Rezeki “Subhat”

Ilustrasi : Google
“Mas fotokopi,” pinta seorang pelanggan. “Ukurannya seberapa?” tanyaku. Kemudian lelaki yang masih duduk di bangku XII SMA meminta memfotokopi dengan ukuran paling kecil. Lalu kufotokopi dengan ukuran 35 %. Ia pun mengiyakan. Fotokopinya tidak hanya selembar dua lembar tetapi berlembar-lembar.


Ya, inilah salah satu potret contek-mencontek yang masih berlangsung hingga saat ini. Fotokopi nan kecil ini mereka gunakan untuk mencari jawaban-jawaban pada pelaksanaan ujian di sekolah. Misalnya ujian tengah semester (UTS) maupun ujian semester (US).

Tidak hanya lelaki yang akan lulus dari bangku SMA tersebut tetapi ada banyak siswa yang lain. Baik laki-laki maupun perempuan yang sama-sama turut memfotokopi dengan ukuran yang sama.

Ketika membicangkan dengan beberapa guru di almamater, Pak Tom, salah satu guru nyeletuk. “Kalo di sini tidak zamannya fotokopi diperkecil tetapi LKS langsung dibawa,” serunya dengan nada guyon.

Nah, ini ialah cara instan yang menjadi salah satu dinamika pendidikan. Anak-anak menginginkan “nilai yang bagus” dengan menghalalkan segala cara. Karena pendidikan masih terjebak pada value oriented (orientasi nilai).

Sebagai seorang pendidik dan pengelola fotokopi tentu belum bisa mengatakan apa-apa. Selain bukan anak didik masih ada ewuh-pakewuh untuk mengingatkan. Semoga praktik-praktik semacam ini tidak berulang-ulang kembali. Sehingga rezeki yang “subhat” dari usaha fotokopi tidak kudapatkan kembali. (Syaiful Mustaqim)  
Previous
Next Post »