Juli 2010 kemarin akhirnya aku bisa merampungkan studi S.1. Sebuah perjalanan panjang. Karena untuk menggapai strata satu mesti ditempuh dalam tujuh tahun 2003-2010. Sungguh waktu lama. Karena saat aku baru lulus S.1 teman-teman satu angkatan sudah banyak yang lulus S.2. Aku tertinggal.
Ketika ditanya ada apa denganku? Tentu banyak alasan. Jika yang berkaitan dengan perkara akademik aku tergolong mahasiswa yang pasif di kampus. Selain itu juga penakut. Tak tahu kenapa? Jujur, kampusku terbilang menakutkan. Karena untuk meraih gelar sarjana harus ditempuh dengan dua kali ujian; komprehensif maupun munaqosah. Hal-hal yang semacam itu membuatku fobia (ketakutan). Akhirnya tidak berani membuat skripsi karena takut ini dan itu.
Urusan akademikku selesai pada semester 10. Pada semester 11-13 aku banyak menggunakan waktuku di rumah. Meski di rumah sebenarnya aku tidak hanya diam. Tetapi membimbing pelajar SMA sederajat untuk belajar jurnalistik.
Aku, pelajar SMA dan jurnalistik sebenarnya tiga hal yang tidak nyambung. Tetapi ketiga hal itu nyambung ketika harus dirangkai dengan proses panjang. Ceritanya, waktu itu organisasi yang tak geluti mengadakan pelatihan jurnalistik untuk pelajar SMA se-kabupaten. Selepas pelatihan panitia menginginkan adanya follow up (tindak lanjut). Aku yang didaulat untuk menjadi penanggung jawab salah satu wilayah yang meliputi beberapa kecamatan.
Pada awalnya follow up memang difasilitasi oleh teman yang ahli dalam bidang jurnalistik. Lama-kelamaan saking sibuknya mereka satu persatu absen. Kalau aku Alhamdulillah senantiasa mendampingi mereka meski belum punya background (latar belakang) tulis-menulis yang jelas. Ternyata tinggal aku. Jika aku juga ikut lari kegiatan pun akan berhenti.
Sejak teman-teman yang semestinya diamanati mulai tidak betah karena pertemuan dengan pelajar SMA saben satu minggu sekali, akhirnya waktu itu aku yang menjadi satu-satunya pendamping mereka.
Singkat cerita waktu itu aku memang belajar keras. Setiap kali akan ketemu mereka, aku belajar terlebih dahulu dengan teman-temanku yang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) maupun Surat Kabar Mahasiswa (SKM).
Saat menyampaikan materi karena masih dalam berlatih ya dengan membaca catatan yang ada. Ternyata jerih parah yang kulakukan sendiri ada hasilnya. Selama mendampingi mereka beberapa tahun berbuah hasil. Anak-anak yang belajar jurnalistik bareng telah menerbitkan buletin bulanan sebanyak 23 edisi ditambah kumpulan esai dan cerita pendek (cerpen).
Pada titik itu sebenarnya secara tidak sadar aku telah mendapatkan hidayah dari Allah SWT untuk menekuni dunia tulis-menulis. Aku tidak mau melaksanakan falsafah jarkoni (iso ngajar ora iso nglakoni). Jika aku hanya menyuruh mereka untuk menulis mesti mereka nganut karena mereka pengen bisa. Sejak saat itu aku pun mulai belajar menulis bersamaan dengan mereka. Dari belajar secara ototidak itu membuahkan hasil. Beberapa karya yang kukirimkan ke media lokal maupun nasional dimuat.
Kegiatan yang kugeluti itu diam-diam diketahui oleh pihak SMA-ku dulu. Akhirnya aku dipanggil untuk membimbing adik-adik kelasku dalam hal yang serupa. Sehingga lambat laun aku, pelajar SMA dan jurnalistik menjadi tiga kata yang sangat nyambung meski konsentrasi kuliah yang kuambil adalah Pendidikan Agama Islam (PAI).
Urusan akademikku selesai pada semester 10. Pada semester 11-13 aku banyak menggunakan waktuku di rumah. Meski di rumah sebenarnya aku tidak hanya diam. Tetapi membimbing pelajar SMA sederajat untuk belajar jurnalistik.
Aku, pelajar SMA dan jurnalistik sebenarnya tiga hal yang tidak nyambung. Tetapi ketiga hal itu nyambung ketika harus dirangkai dengan proses panjang. Ceritanya, waktu itu organisasi yang tak geluti mengadakan pelatihan jurnalistik untuk pelajar SMA se-kabupaten. Selepas pelatihan panitia menginginkan adanya follow up (tindak lanjut). Aku yang didaulat untuk menjadi penanggung jawab salah satu wilayah yang meliputi beberapa kecamatan.
Pada awalnya follow up memang difasilitasi oleh teman yang ahli dalam bidang jurnalistik. Lama-kelamaan saking sibuknya mereka satu persatu absen. Kalau aku Alhamdulillah senantiasa mendampingi mereka meski belum punya background (latar belakang) tulis-menulis yang jelas. Ternyata tinggal aku. Jika aku juga ikut lari kegiatan pun akan berhenti.
Sejak teman-teman yang semestinya diamanati mulai tidak betah karena pertemuan dengan pelajar SMA saben satu minggu sekali, akhirnya waktu itu aku yang menjadi satu-satunya pendamping mereka.
Singkat cerita waktu itu aku memang belajar keras. Setiap kali akan ketemu mereka, aku belajar terlebih dahulu dengan teman-temanku yang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) maupun Surat Kabar Mahasiswa (SKM).
Saat menyampaikan materi karena masih dalam berlatih ya dengan membaca catatan yang ada. Ternyata jerih parah yang kulakukan sendiri ada hasilnya. Selama mendampingi mereka beberapa tahun berbuah hasil. Anak-anak yang belajar jurnalistik bareng telah menerbitkan buletin bulanan sebanyak 23 edisi ditambah kumpulan esai dan cerita pendek (cerpen).
Pada titik itu sebenarnya secara tidak sadar aku telah mendapatkan hidayah dari Allah SWT untuk menekuni dunia tulis-menulis. Aku tidak mau melaksanakan falsafah jarkoni (iso ngajar ora iso nglakoni). Jika aku hanya menyuruh mereka untuk menulis mesti mereka nganut karena mereka pengen bisa. Sejak saat itu aku pun mulai belajar menulis bersamaan dengan mereka. Dari belajar secara ototidak itu membuahkan hasil. Beberapa karya yang kukirimkan ke media lokal maupun nasional dimuat.
Kegiatan yang kugeluti itu diam-diam diketahui oleh pihak SMA-ku dulu. Akhirnya aku dipanggil untuk membimbing adik-adik kelasku dalam hal yang serupa. Sehingga lambat laun aku, pelajar SMA dan jurnalistik menjadi tiga kata yang sangat nyambung meski konsentrasi kuliah yang kuambil adalah Pendidikan Agama Islam (PAI).
* * *
Lama meninggalkan bangku kuliah mesti aku masih agak ketakutan dengan skripsi tetapi kutancapkan kemantapan di hati untuk merampungkan studi. Bersamaan dengan semester 14 aku mulai nggarap skripsi. Ketakutan-ketakutan yang awal mulanya ada terpaksa kukubur dalam-dalam. Aku ingat orang tua yang membiayai studi. Aku ingat teman-teman yang telah lulus mendahului.
Akhirnya aku lulus juga. Meski agak terseok-seok ketika menghadapi pembimbing yang sok sibuk. Terpaksa saat mau daftar ujian komprehensif maupun munaqosah molor melulu, tidak pernah tepat waktu. Apalagi saat ujian dimulai. Dibantai penguji itu sudah pasti. Tetapi yang sudah lumrah di kampusku, mahasiswa semester udzur asal mau nganut peraturan bisa dipastikan mendapatkan pertolongan berupa kelulusan. Lulus kuliah. Sarjana. Plong juga mimpiku yang kurengkuh selama tujuh tahun.
Mengajar
Tahun 2012 didadaku tumbuh keinginan untuk mengabdi menjadi tenaga pendidik di sekolah. Mengajar. Selama ini yang sudah kulakoni adalah jalur pendidik ekstrakurikuler. Semisal pembimbing jurnalistik di SMA serta mengisi pelatihan menulis di sekolah, pesantren dan kampus.
Baru-baru ini aku juga pernah menjadi asisten dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Aku menjadi asdos dalam tiga tatap mata perkuliahan saja. Meski begitu itu merupakan pengalaman yang tak pernah terlupakan.
Kalau untuk hal-hal yang demikian, barangkali aku sudah memiliki beberapa pengalaman. Makanya, di tahun 2012 aku berkeinginan kuat agar bisa mengajar di sekolah formal. Caranya tentu dengan mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah yang kutuju. Jalan lain yakni dengan melobi kepada kepala sekolah yang kebetulan sudah aku kenal. Harapanku semoga ada yang nyantol sehingga aku bisa segera mengajar.
Meski demikian aku berencana ketika aku sudah memasuki dunia sekolah spirit menulisku juga selalu aku tularkan kepada para anak didik. Mengajar itu so pasti. Mengajari menulis juga tidak kalah penting. Sebab itu merupakan keahlian yang belum tentu dimiliki oleh banyak orang.
Menikah
Bersamaan dengan keinginan mengajar di sekolah formal, sudah saatnya pula aku menanggalkan status lajang. Meski hingga saat ini belum mempunyai calon tetapi aku senantiasa ikhtiar agar Tuhan mempermudah jalan untuk mendapatkan jodoh.
Sebab usia seperti aku sudah banyak yang memiliki istri maupun anak. Adik perempuanku juga mendahului, sudah menikah dan memiliki satu anak. Beberapa teman kampung, sekolah, kampus juga demikian adanya.
Boleh dibilang orang sekitar selalu mencemoohku gara-gara aku masih perjaka. Tidak tetangga, guru, teman mereka sama saja. Bagiku mereka tidak malah memberikan motivasi tetapi membikin hati tambah gelisah. Meski demikian masih ada dari mereka yang menurutku walaupun tanpa ucapan yang bernada cemoohan malah menjadikan motivasi tersendiri.
Ialah Ibu dan Bapak. Mereka adalah sosok yang tidak pernah memaksakan kehendak dalam berbagai urusan termasuk pendidikan dan jodoh. Merekalah motivator di setiap langkahku. Selain mereka juga teman-teman yang berkarakter tidak memaksakan kehendak pula. Aku tetap mengumpuli teman yang memaksakan kehendak. Tetapi untuk urusan masa depan bagiku hanya angin lalu. Semoga kedua impianku segera terwujud. Amin. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon