Pergeseran Religiositas Mahasiswa


Oleh Syaiful Mustaqim

PERILAKU religius seseorang bergeser manakala memasuki dunia kampus. Ketekunan shalat (maktubah-sunah), puasa (wajib-sunah), mengikuti majlis taklim, doa bersama, pembacaan manaqib atau shalawat akan diuji oleh keriuhan suasana kota serta kepadatan jadwal kuliah dan berorganisasi.

Mahasiswa akan melewatkan hari-hari dengan meneguhkan aspek intelektual, tanpa mengisi hati dengan ritual religi. Ketika azan terdengar, mereka tetap beraktivitas. Suara tarhim yang mengajak muslim segera sahur, mereka biarkan begitu saja. Lantas, mereka meneruskan tidur pulas. Ritus merengkuh Sang Pencipta hanya mereka lakukan semau hati dan bila sempat.

Padahal, dulu sejak SMA mereka nyantri di pesantren plus mendawamkan puasa sunah Senin-Kamis. Membaca puji-pujian untuk Nabi Muhammad SAW tak pernah terlewati setiap pekan. Apalagi mereka memanifestasikan kecintaan pada ustad dan kiai dengan tunduk pada setiap fatwa para alim. Siswa nglajo tak pernah meninggalkan ritus keagamaan karena orang tua memantau seratus persen.

Memudar Saat memasuki kampus, satu per satu kegiatan keagamaan mereka tinggalkan. Kememudaran laku religius mahasiswa dipengaruhi beberapa sebab. Pertama, kondisi lingkungan menjadi penyebab utama mahasiswa berlaku positif atau negatif.

Awal mula masuk ke lingkungan baru barangkali mereka masih tekun beribadah. Namun lambat-laun jika dalam sekumpulan organisasi, satu kontrakan, atau kos-kosan ada kawan jauh dari Tuhan, barangkali jika tetap mengugemi ritus keagamaan akan dianggap “sok taat”.

Kedua, banyak kesibukan. Tugas harian mengikuti kuliah dan berbagai kegiatan esktra dan intrakampus biasanya menyita banyak waktu, sehingga usai kegiatan acap capek. Lalu, malas beribadah. Dan, itu terjadi bertahun-tahun.

Ketiga, kepungan teknologi. Siaran televisi mengumbar tayangan yang memanjakan hati pemirsa, meski ada jeda untuk kumandang azan magrib dan subuh. Area hotspot gratis di mana-mana menjadikan mahasiswa bisa sepuas hati mengakses informasi.

Telepon genggam pun bisa digunakan untuk menyaksikan televisi, berselancar di dunia maya, hingga melihat lawan bicara secara langsung.

Keempat, keriuhan modernitas. Letak kampus barangkali berdekatan dengan arus modernitas. Dekat mal, kafe, arena hiburan, hingga kompleks lokalisasi. Tak ayal, keriuhan modernitas itu berdampak negatif jika ajakan kawan sebaya diiyakan begitu saja.

Kelima, jauh dari jangkauan orang tua. Tugas dosen hanya menyampaikan materi perkuliahan dengan jadwal tatap muka delapan hingga 12 pertemuan. Selebihnya, dosen tak tahu-menahu perilaku mahasiswa. Orang tua pun tak bakal bisa memantau sang anak.

Tak Pernah Abai Itu tentu berbeda dari mahasiswa yang nyantri di pesantren dekat kampus. Selain masih mengkaji kitab salaf, rutinitas keagamaan merupakan agenda sehari-hari mereka. Pengurus atau kiai pun bisa memantau santri satu per satu. Begitu juga mahasiswa yang bergabung dengan organisasi berbasis keislaman; selain mengedepankan aspek intelektual, mereka tak pernah mengabaikan sisi ritual keagamaan.

Karena itu, untuk mengantisipasi pergeseran ritual agama tergantung sepenuhnya pada individu masing-masing. Jika ingin mengugemi ketaatan agama sebagaimana sebelumnya, lakukanlah seperti yang sudah-sudah. Tanpa mesti menghiraukan kawan yang enggan beribadah. Bila perlu ajak kawan-kawan tetap setia kepada Tuhan. Selain itu, usahakan pulang ke tanah kelahiran sebulan sekali agar bisa bercengkerama dengan orang tua, sehingga bisa menjalankan rutinitas keagamaan sebagaimana mestinya. (*)


Tulisan ini dipublikasikan : Suara Merdeka, 09 April 2011
Previous
Next Post »