Ilustrasi : google. |
Oleh: Syaiful Mustaqim
Seorang teman yang tujuh tahun menjadi guru salah satu ekstrakurikuler di sebuah sekolah Negeri terpaksa melayangkan surat pengunduran diri kepada sekolah. Pasalnya, dia belum “dimanusiakan” oleh sekolah yang ditempatinya selama bertahun-tahun.
Menurutnya, sejak 2003 hingga 2010 sekolah hanya memberikan insentif Rp.10.000,- setiap kali pertemuan. Lambat laun nominal tersebut meningkat Rp.5.000,-. Sehingga, setiap bulan dirinya menerima “gaji” bersih Rp.57.000,- karena dipotong PPn.
Diluar itu, sekolah Swasta dan Negeri yang juga dia bimbing “menarif” angka diatas; Rp.15.000,- tanpa pajak hingga Rp.35.000,- / pertemuan. Ya, itulah bentuk keberanian dari seorang kawan yang sudah dipendam sekian lama. Dulu, boleh saja nominal yang superminim itu memang diabaikan karena ada “panggilan nurani”.
Tetapi setelah dibiarkan, pihak sekolah tak lantas memberikan apresiasi terhadap prestasi-prestasi yang ditorehkan bersama anak didiknya. Akhirnya dipungkasi dengan pengunduran diri mesti pihak sekolah belum memutuskan diterima atau tidak. Terpaksa semester ini kegiatan vakum terlebih dahulu menunggu keputusan sekolah.
“Memanusiakan”
Guru ekstrakurikuler baik Pengabdian Bela Negara, Pendidikan Seni dan Budaya, Keagamaan, Olah Raga dan Pengembangan Intelektual perlu dimanusiakan. Artinya, mesti diperhatikan sekolah mengenai insentif dan nominal kegiatan yang dibutuhkan dalam sebuah event (kegiatan). Jangan sampai guru ekstra “tekor duit” karena sekolah tidak mem-back-upnya. Sedapat mungkin pihak sekolah mendanai keperluan yang dibutuhkan oleh guru ekstra.
Bisa jadi, meski guru ekstra dalam bertatapmuka hanya diluar jam pelajaran konstribusinya juga berpengaruh yakni mengetahui kemampuan siswa satu-persatu melalui personal approach (pendekatan secara individu). Selain itu, terjalin hubungan yang bersinergi; siswa yang menekuni kegiatan ekstra A misalnya, karena dirinya ingin sekali menekuni kegiatan yang ia pilih.
Berbeda dengan mata pelajaran di kelas, tidak semua peserta didik suka dengan mapel yang diajarkan apalagi jika guru cara mengajarnya kurang sreg. Bisa-bisa mereka menjadi setengah hati dalam menerima pelajaran.
Guru ekstra sama dengan guru maupun karyawan sekolah lain. Apalagi, hasil konferensi anak-anak di Grenoble, Perancis 1993 menyebutkan kurikulum pendidikan formal memiliki kemampuan terbatas untuk menyerap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konferensi itu merekomendasikan adanya pendidikan di luar sekolah. Hal itu tentu sejalan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diterapkan di sekolah-sekolah. Dengan demikian, guru ekstra pun perlu diperhatikan layaknya guru yang lain. Karena mereka juga manusia. (*)
4 komentar
Click here for komentarnyeritaake awake dewe, semangat yemmm, hidup kudu berjuang kanggo hidup
Reply@anam: kuwi ora nyritakke awakku dewe, tetapi koncoku nem. kanggo opo aku nyritakke awakku dewe terus tak tulis.
Replyhehe betul, pokoe semua kudu dimanusiakan lek. mesakke wong niat mendidik tenanan kok gak diapresiasi... nek dapet prestasi yo sing ndaku sekolahane owk...
Reply@musyafak: yup. bukan cuma niat malah tetapi lebih dari itu mengorbankan segalanya untuk kemajuan peserta didik. hehe
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon