Sepatu Baru Restu

www.kincir.com
Nasib Restu, anak bungsu Ibu Minah tidak semujur teman-teman lain. Anak terakhir dari ibu yang kesehariannya berjualan gorengan keliling desa, harus menerima takdir Tuhan apa adanya. Sejak kecil dia sudah yatim, ayahnya telah tiada. Waktu itu, sesuai cerita Ibu, ayahnya meninggal karena penyakit kronis. Ibunya sudah meminta bantuan hutang kesana kemari tetapi tidak ada respon dari siapapun. Akhirnya, nyawa bapaknya tidak terselematkan lagi.

Kedua kakaknya, Utami dan Rozi telah lama berkeluarga. Utami tinggal di Salatiga bersama suami. Rozi menikah dengan gadis Mojokerto. Sekarang mereka menetap disana. Saat lebaran, kedua pasangan keluarga tersebut tidak pernah sowan ke rumah Ibunya, baik untuk bersilaturrahmi atau membantu biaya pendidikan adik mereka, Restu.

Usia Bu Suminah sudah tua. Telah menginjak lima puluh tahun lebih. Sejak sepeninggal suaminya, beliau harus bekerja keras, menghidupi putra semata yang tinggal semata wayang, Restu. Memang, hasil yang didapat dari menjual gorengan sangat minim, antara sepuluh ribu hingga lima belas ribu rupiah perhari.

Uang sedikit itu, harus beliau gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, membeli bahan gorengan maupun biaya sekolah anaknya. Bagi Bu Minah, untuk memberi uang saku anaknya seribu hingga dua ribu perak, masihlah kuat. Tetapi guna membayar keperluan SPP dan LKS harus menunggak berbulan-bulan. Terkadang beliau rela berhutang kepada tetangga untuk melunasinnya.

Sosok Restu merupakan salah satu siswa yang rajin dan tekun. Rajin belajar setiap hari maupun siap membantu Ibunya yang sudah tua renta. Tetapi semangat dan ketekunan yang dia miliki terkadang memudar ketika akan berangkat sekolah. Sepatu kesayangannya, sudah tidak layak pakai. Sebab sudah berusia dua tahun. Jahitan depan sepatu mengelupas dan terbuka lebar. Jika dipakai ujung kakinya kelihatan. Apalagi, kaus kakinya musnah bagian ujung akibat dimakan tikus.

Dengan sepatu itu, dia sangat malu dengan teman yang lain. Apalagi jika dia diejek sebagian teman-temannya. Hal itu kemudian diadukan kepada Ibu tercinta agar beliau segera membelikan sepatu baru. Namun, Ibu hanya bisa memberi semangat putranya agar selalu sabar dan tetap tekun belajar.

“Nak, maafin Ibu ya! Ibu belum bisa membelikanmu sepatu baru. Sepatu yang ada saat ini dipakai dulu saja. Kalau sudah ada rizki, Ibu akan membelikannya yang baru.” Begitu janji Ibunya agar dia tetap semangat. Tetapi dibalik janji itu, Ibunda tercinta juga kebingungan harus membeli dengan uang darimana.

Untungnya, Restu bukan tipe anak yang suka memaksa. Dia tetap mengetahui dan memahami kondisi ekonomi Ibunya. Dia telah berinisiatif agar sesegera mungkin dia punya sepatu baru. Tahun ajaran baru lalu, setiap hari dia menyisihkan uang saku untuk ditabung. Jika uang sakunya dua ribu perak, dia sisihkan seribu. Sedangkan jika seribu rupiah maka dia menabung dua hari sekali. Restu berkeinginan hasil tabungan itu akan digunakan untuk membeli sepatu. Sisanya diberikan kepada Ibunya untuk keperluan sehari-hari.

***

Tak terasa setahun ajaran baru telah berjalan. Mid dan semester baik ganjil dan genap dia lalui dengan lancar. Hari Sabtu orang tua siswa diundang untuk pengambilan raport dan hasil tabungan termasuk Ibu Suminah.

Sabtu pun tiba. Sebelum menjajakan dagangannya, bu Minah terlebih dahulu mengambil raport Restu ke sekolah. Raport telah dibagikan. Begitu pula dengan uang tabungan. Restu masuk peringat sepuluh besar di kelas. Dia pun naik kelas. Sedangkan uang tabungannya mendapatkan tiga ratus ribu rupiah.

“Ibu. Hasil tabungan ini untuk membeli sepatu ya! Sisanya untuk keperluan Ibu,” pintanya setelah pembagian raport dan uang tabungan. Ibu pun merasa bersalah karena janjinya belum beliau tepati. Restu pun memaafkan Ibunya. Dengan membawa dagangan, Ibu dan Restu menuju ke toko sepatu untuk membeli sepatu. Alhasil, tahun ajaran baru depan Restu sudah memakai sepatu yang baru. (sm)
Previous
Next Post »