Seratus Persen Tobat

Vidio.com
Mulai SD sampai SMP, aku sekolah di kampung sendiri. Letaknya nggak begitu jauh, cukup dengan jalan kaki sampai juga di sekolah. SDku jaraknya cuma 700 meter sedangkan untuk menuju SMP hanya ditempuh 100 meter. Boleh dibilang SMPku sangat dekat karena dari rumah bisa dilihat gedungnya.

Teman-temanku, SD berasal dari teman-teman sekampung, paling berada di gang yang bersebelahan. Ada pula se-desa tetapi letaknya di bagian timur dekat dengan sungai perbetasan desa lain. Di SMP, teman-temanku selain berasal dari satu kampung juga beda desa maupun lain kecamatan. Meski begitu, karena aku memang tipe pendiam sehingga berani bercakap-cakap hanya dengan sesama jenis. Dengan lawan jenis, perempuan maksudnya aku begitu minder. Entah kenapa aku juga nggak tahu?

Akibatnya, temanku hanya sedikit banget. Rata-rata cowok semua. Parahnya, temen cewek yang ketemu di jalan pun enggan menyapaku. Kayak nggak kenal saja. Capek dech!

Setelah lulus SMP akhirnya kuputusin buat nglanjutin SMA di sekolah yang lumayan favorit. Selain letaknya di kawasan keramaian, untuk masuk di sekolah itu harus melalui tes yang cukup rumit. Sehingga, jangan ditanya jika banyak calon peserta didik baru yang gagal masuk.

Waktu itu, aku juga deg-degan kalau sampai nggak keterima dan bingung mau nyari sekolah dimana lagi. Karena sekolah itu adalah pilihan utama dan sudah mantap seratus persen. Pendaftaran, registrasi dan ujian masuk kulalui dengan baik. Akhirnya aku di terima.

Di kelas 1 hingga 2 SMA, belum ada perubahan yang signifikan pada diriku. Masih malu-malu seperti yang dulu. Akan tetapi semenjak kelas 3 sudah mulai ada perubahan. Mulai kukenal cewek-cewek sekelas maupun kelas lain. Yang dulunya untuk ngobrol dengan perempuan, muka berkeringat dan badan pun merinding, lambat laun mulai nggak. Maen ke rumah teman baik cowok dan cewek, mulai kuawali. Setelah muncul keberanian, aku maen sendirian, nggak mengajak teman.

Di akhir SMA, teman-teman cowok sekelas mulai mengajakku nonton film bokep. Namanya juga anak muda, pengen tahu ingin dan itu, aku pun mengiyakan ajakan itu. Temanku, Noerdin adalah yang mengajak untuk kali pertama. Film biru memang tidak layak untuk kita tonton. Tetapi hasrat yang sudah terlanjur liar, apapun resikonya dan kapan pun waktunya tetap kita tonton.

Di rumah Noerdin untuk nonton film itu harus secara sembunyi-sembunyi. Tepatnya, belakang ruang tamu. Ya, tempat itu ruang kita menyaksikan agedan tayangan porno. Namanya juga secara sembunyi-sembunyi kita pun harus waspada agar ortu Noer mengetahui kelakuan kita. Sehingga, kita mesti waspada dan berjaga-jaga. Kalau ada tamu atau ortu datang seketika player diganti dengan stasiun televisi swasta.

Selain di rumah Noer, aksi gelap itu juga dilakuin di rumah Uciel. Kalau dirumah cowok berperawakan cebol itu berbeda dengan di rumah Noer. Sebab, rumah si Uciel berlantai dua sehingga untuk nonton film be-ef bisa dipusatkan dilantai dua. Kita pun bisa bebas.

Nonton film adegan iklan sabun mandi yang hot saat itu memang membawa candu bagiku juga teman-teman. Jika nggak nonton, sewaktu pelajaran di kelas pengen rasanya mbolos atau cepat-cepat pulang terus dilanjutin nonton bareng. Alhasil, aku pun mulai meminjam kepingan CD untuk kubawa pulang. Karena di rumah aku pengen menontonnya sendiri.

Malam-malam ketika Ibu-Bapak, Kakak dan Adik terlelap tidur, aku mulai melakukan aksiku. Kepingan CD yang kubawa dari Uciel pengen banget kutonton. Secara diam-diam kunyalakan televisi dan VCD player tanpa suara. Kutengok kanan kiri barangkali Ibu-Bapak maupun Kakak Adik terbangun. Setelah kurasa aman, kutonton semua adegan dalam film tersebut.

Karena malam telah larut, aku pun tertidur lelap. Pukul lima pagi saat aku terbangun tiba-tiba Ibu menjewer kupingku dengan keras hingga memerah. Sedangkan kepingan CD yang ada dipatahkan hingga berkeping-keping. Ibu marah. Akibatnya, selama berminggu-minggu uang saku untuk sekolah dikurangi total. Uang yang kudapatkan hanya untuk ongkos naik bus. Sementara untuk makan siang terpaksa harus puasa nggak makan di kantin sekolah.

Hukuman dari Ibu harus ku terima dengan lapang dada. Kejadian itu kuceritakan kepada teman-teman. Aku malah ditertawakan. Sejak itu, aku mulai terombang-ambing bingung antara menonton tayangan bejat itu lagi apa nggak. Kalau di rumah barangkali aku bisa mengendalikan hasrat untuk menghentikan menyaksikannya. Sedangkan jika ketemu teman-teman berat banget jika harus menolaknya.

Strateginya, di rumah teman aku menonton sedangkan di rumahku libur total. Hari berganti hari, minggu berganti minggu ternyata nggak ada perubahan dari banyaknya uang sakuku. Sama seperti sejak kejadian itu. Hanya bisa untuk ongkos naik angkot.

Ketika nonton di rumah teman aku selalu teringat dengan amarah Ibu. Meski beliau tidak hadir tetapi Tuhan senantiasa memantaku. Untuk tidak lagi menonton tayangan bejat itu sedikit demi sedikit ajakan dari teman ku tolak dengan halus. Ajakan yang biasanya mereka ajukan selepas sekolah ku tolak dengan alasan akan membantu Ibu atau disuruh pulang cepat-cepat. Penolakan tersebut ternyata tidak digubris teman-teman tetapi mereka biasa-biasa saja. Tidak kemudian memaksaku lagi. Aku pun bersyukur.

Aku memang pengen tobat seratus persen nggak bakal nonton film bokep lagi. Aku berinisiatif ikut mengaji di pesantren dekat rumah. “Bu aku ingin mengaji di pesantren,” pintaku kepadanya. Awalnya Ibu kaget mendengar permintaanku. Beliau masih berburuk sangka jika alasan itu biar uang sakuku di tambah. Tetapi, permintaanku akhirnya disetujui.

Pagi sampai siang aku belajar di sekolah. Siang sampai sore kugunakan untuk mengerjakan tugas sekolah. Sedangkan malam untuk ikut mengaji di pesantren. Aktivitas harianku berjalan dengan lancar. Tetapi niat baikku belum disambut positif oleh Ibu. Uang saku tetap seperti biasa, hanya untuk ongkos angkot. Aku berpikir, barangkali yang kulakukan dalam proses tobat belum menunjukkan perilaku yang ikhlas.

Kuluruskan niatku. Aku bener-bener pengen tobat. “Nggak hanya mengaji tetapi aku pengen menginap di pondok,” begitu permohonanku kepada beliau untuk kesekian kalinya. Sehingga, untuk tidur aku bermalam di pesantren meski jakarknya dekat. Awal mulanya aku nggak kerasan. Lambat laun aku mulai betah. Selepas maghrib aku menuju pesanten dengan mengikuti kajian kitab klasik yang disampaikan oleh pak Kyai.

Lembaran demi lembaran kitab salaf ku kaji saben hari. Entah kenapa tiba-tiba kecanduanku akan menonton film bokep makin sirna, entah hilang kemana. Yang ada dalam pikiranku hanya mengaji dan melakukan amal kebajikan.

Keikhlasan yang kujalankan tidaklah sia-sia. Ketekunanku untuk belajar di sekolah, mengaji di pesantren, membantu orang tua dan hal-hal bijak lain lambat laun direspon baik oleh Ibu kembali. Uang saku saben hari yang hanya untuk ongkos naik angkot dikembalikan seperti semula. Luar biasanya, uang sakuku kemudian dilipatkan gandakan.

So, selain bisa jajan di kantin aku juga bisa sisihkan untuk menabung. Hasil tabungan itu, meski belum seberapa selepas rampung dari SMA, aku melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama. Aku mulai membuka rekening bank dari hasil tabungan itu. (sm)

Japara, 31 Oktober 2010
Previous
Next Post »