Ilustrasi : mediaindonesia.com |
Setiap tahun, sebuah lembaga pendidikan (SMP dan SMA) melaksanakan kegiatan pemilihan ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Pergantian kepemimpinan dilingkup sekolah tersebut merupakan bagian dari praktik demokrasi siswa.
Demokrasi ala siswa berarti dari siswa oleh siswa dan untuk siswa. Sehingga, praktik demokrasi tidak melulu hanya berlaku di desa saat pemilihan petinggi (pilpet), di kabupaten dan provinsi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) dan ibukota saat pemilihan presiden (pilpres).
Dalam praktiknya sama dengan pelaksanaan di pemerintahan, mulai proses pencalonan, kampanye, pemilihan hingga menjabat. Bedanya, jika menjabat sebagai petinggi, bupati, gubernur dan presiden lamanya hingga lima tahun sementara menjadi ketua OSIS hanya selama satu tahun.
Meski demikian, praktik demokrasi di sekolah mesti dirancang sesuai dengan pemilihan umum sungguhan. Tahap awal, siswa bisa disosiliasikan pentingnya pendidikan kewarganegaraan (PKn) dengan menghadirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi.
Tahap berikutnya, proses pemilihan sekolah bisa direkayasa laiknya Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sedangkan tahap terakhir adalah pelaksanaan menjabat. Adapun pembina OSIS bertugas memantau proses kepemimpinan yang dijalankan selama satu tahun.
Praktik demokrasi di bangku sekolah merupakan wahana bagi peserta didik untuk belajar akan pentingnya civic education (pendidikan kewargaan). Meski hanya belajar, siswa akan mengetahui dan memahami pentingnya seorang pemimpin. Selain itu, praktik menyalurkan aspirasi yang Langsung Umum Bebas Rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).
Oleh karenanya, manakala siswa telah meninggalkan banggu sekolah dan beranjak usia 17 tahun ia tidak segan-segan menyampaikan aspirasi politiknya melalui pemilihan umum. Sehingga, tidak ada generasi yang golput maupun acuh tak acuh dengan sistem perpolitikan di negeri kita ini. (sm)
Demokrasi ala siswa berarti dari siswa oleh siswa dan untuk siswa. Sehingga, praktik demokrasi tidak melulu hanya berlaku di desa saat pemilihan petinggi (pilpet), di kabupaten dan provinsi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) dan ibukota saat pemilihan presiden (pilpres).
Dalam praktiknya sama dengan pelaksanaan di pemerintahan, mulai proses pencalonan, kampanye, pemilihan hingga menjabat. Bedanya, jika menjabat sebagai petinggi, bupati, gubernur dan presiden lamanya hingga lima tahun sementara menjadi ketua OSIS hanya selama satu tahun.
Meski demikian, praktik demokrasi di sekolah mesti dirancang sesuai dengan pemilihan umum sungguhan. Tahap awal, siswa bisa disosiliasikan pentingnya pendidikan kewarganegaraan (PKn) dengan menghadirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi.
Tahap berikutnya, proses pemilihan sekolah bisa direkayasa laiknya Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sedangkan tahap terakhir adalah pelaksanaan menjabat. Adapun pembina OSIS bertugas memantau proses kepemimpinan yang dijalankan selama satu tahun.
Praktik demokrasi di bangku sekolah merupakan wahana bagi peserta didik untuk belajar akan pentingnya civic education (pendidikan kewargaan). Meski hanya belajar, siswa akan mengetahui dan memahami pentingnya seorang pemimpin. Selain itu, praktik menyalurkan aspirasi yang Langsung Umum Bebas Rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).
Oleh karenanya, manakala siswa telah meninggalkan banggu sekolah dan beranjak usia 17 tahun ia tidak segan-segan menyampaikan aspirasi politiknya melalui pemilihan umum. Sehingga, tidak ada generasi yang golput maupun acuh tak acuh dengan sistem perpolitikan di negeri kita ini. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon