Warta yang didengungdengungkan para peramal kondang negeri Parahyangan, tanggal dua belas bulan dua belas tahun dua ribu dua belas akan datang kiamat benar adanya. Sebab setahun sebelumnya, negeri loh jinawi ini dilanda petaka yang menghantam seluruh relung kehidupan.
Petaka yang melanda negeri, serasa sulit dibenahi. Negeri ini hendak roboh. Roboh karena kecerobohan, kecongkakan dan kebiadaban penduduknya. Sederetan krisis keesaan, kepercayaan, moralitas adalah serangkaian tanda-tanda, belantara ini akan diruntuhkan pemilik semesta.
Penduduk negeri mulai enggan memanjatkan doa-doa kepada sang pencipta. Para pemimpin singgasana, mengkhianati amanatnya menjadi penguasa. Hingga, kekayaaan yang berlimpah ruah musnah tiada terarah. Hasrat seksual dengan lawan jenis laiknya binatang, bebas dilakukan dimana saja. Perjumpaan dengan beda kelamin belum lengkap jika tidak berhubungan intim.
Bukan di kesunyian melainkan tanpa tedeng aling-aling makhluk yang kerasukan setan itu memuaskan hasrat seksualnya. Bila telah enggan, bisa barter dengan pasangan yang lain. Putra lahir tanpa ayah bunda sudah biasa. Jerit tangis anak tak berdosa dibiarkan begitu saja.
"Aku ingin negeri ini cepat berakhir," doaku kepadaNya. Doa kupanjatkan agar negeri terkutuk ini musnah ditelan bumi. Meski begitu, aku memang belum merasa surga dunia. Melakoni hubungan adam hawa diatas ranjang. Itu surga dunia versi negeri ini.
Pernah seorang pangeran mendekatiku, lama-lama kami menjalin asmara. Suatu ketika setelah hubungan itu kami rajut ia memintaku untuk bersetubuh. Aku pun menolak permohonan itu. Aku ingin hubungan itu resmi dalam bahtera perkawinan. Lelaki itu menolaknya. Ia pernah mencoba memperkosaku, itu pun berhasil kubendung. Pungkasnya, lelaki biadab itu meracuniku lewat sebotol minuman. Aku pun kini buruk rupa. Sejak itu tiada lelaki yang berani mendekati.
Tepat tanggal dua belas, bulan dua belas, tahun dua ribu dua belas negeri ini benarbenar ditelan tanah. Aku pun tak tahu dimana sekarang ini berada. Seperti berada pada babak kehidupan baru. Yang ku jumpa hanya rupa siksa para penduduk singgasana yang pernah berbuat durhaka.
Lalu aku bertemu, lelaki tanpan nan rupawan. "Sayang mendekatlah! Aku adalah teman sejati yang akan menemanimu di singgasana surga ini," rayunya. Jantungku berdetak dengan kencang. Aku pun mendekat dan mendekapnya. (sm)
Japara, 21 Oktober 2010
Petaka yang melanda negeri, serasa sulit dibenahi. Negeri ini hendak roboh. Roboh karena kecerobohan, kecongkakan dan kebiadaban penduduknya. Sederetan krisis keesaan, kepercayaan, moralitas adalah serangkaian tanda-tanda, belantara ini akan diruntuhkan pemilik semesta.
Penduduk negeri mulai enggan memanjatkan doa-doa kepada sang pencipta. Para pemimpin singgasana, mengkhianati amanatnya menjadi penguasa. Hingga, kekayaaan yang berlimpah ruah musnah tiada terarah. Hasrat seksual dengan lawan jenis laiknya binatang, bebas dilakukan dimana saja. Perjumpaan dengan beda kelamin belum lengkap jika tidak berhubungan intim.
Bukan di kesunyian melainkan tanpa tedeng aling-aling makhluk yang kerasukan setan itu memuaskan hasrat seksualnya. Bila telah enggan, bisa barter dengan pasangan yang lain. Putra lahir tanpa ayah bunda sudah biasa. Jerit tangis anak tak berdosa dibiarkan begitu saja.
"Aku ingin negeri ini cepat berakhir," doaku kepadaNya. Doa kupanjatkan agar negeri terkutuk ini musnah ditelan bumi. Meski begitu, aku memang belum merasa surga dunia. Melakoni hubungan adam hawa diatas ranjang. Itu surga dunia versi negeri ini.
Pernah seorang pangeran mendekatiku, lama-lama kami menjalin asmara. Suatu ketika setelah hubungan itu kami rajut ia memintaku untuk bersetubuh. Aku pun menolak permohonan itu. Aku ingin hubungan itu resmi dalam bahtera perkawinan. Lelaki itu menolaknya. Ia pernah mencoba memperkosaku, itu pun berhasil kubendung. Pungkasnya, lelaki biadab itu meracuniku lewat sebotol minuman. Aku pun kini buruk rupa. Sejak itu tiada lelaki yang berani mendekati.
Tepat tanggal dua belas, bulan dua belas, tahun dua ribu dua belas negeri ini benarbenar ditelan tanah. Aku pun tak tahu dimana sekarang ini berada. Seperti berada pada babak kehidupan baru. Yang ku jumpa hanya rupa siksa para penduduk singgasana yang pernah berbuat durhaka.
Lalu aku bertemu, lelaki tanpan nan rupawan. "Sayang mendekatlah! Aku adalah teman sejati yang akan menemanimu di singgasana surga ini," rayunya. Jantungku berdetak dengan kencang. Aku pun mendekat dan mendekapnya. (sm)
Japara, 21 Oktober 2010
ConversionConversion EmoticonEmoticon