Memori 10.10.2010

https://www.merdeka.com
Saat usia beranjak 27 tahun, papi mamiku semakin kebingungan. Apalagi aku ini berjenis kelamin hawa. Kerabat seangkatanku yang saben hari biasanya ngumpul satu persatu telah resmi menanggalkan status lajangnya. Hanya aku yang masih single.

Ratarata sejak usia 17 hingga 20 tahun, para orang tua telah berinisiatif menjodohkan anak-anaknya dengan lawan jenis. Aku berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan lain, manusia. Tetapi aku juga memiliki rasa dan cinta. Untuk menentukan pasangan hidup mesti melalui kenalan, berpacaran hingga melangsungkan perkawinan.

Boleh dikata mereka telah bahagia. Bahagia bersama pasangannya. Mereka yang saben hari berkumpul, merampas bekal makanan wisatawan lokal maupun manca maupun teman bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain, kini tinggal aku saja.

Papi dan mami dalam setiap waktu mendesakku segera kawin. Jika memang belum punya pasangan mereka siap menjodohkan dengan pilihannya. Aku pun mulai mengaku.

“Pagi itu, saat perutku mulai melilit, aku mondar-mandir sendirian. Setelah ku temukan mangsa, ku rampas kacang dan pisang dalam tas plastik, milik pengunjung. Meski berhasil, pemilik makanan emosi. Dia mengejarku, melempariku dengan batu. Aku terjatuh dan tersungkur pada hamparan tanah,” ceritaku pada papi dan mami.

Entah ada apa, makhluk sejenisku tampan rupawan, perkasa nan baik hati menolongku. Benih-benih cinta pun mulai muncul saat aku dan dia saling memandang. Saat perjumpaan hingga telah berjalan setengah tahun kami memadu kasih.

Tanpa pikir panjang, papi mami menyetujui hubungan intim kami. Sesegera ku meminta kekasih, meminangku dan melangsungkan perkawinan. Alhasil, setelah musyawarah perkawinan dilaksanakan tanggal 10 Oktober 2010.

Untuk memeriahkan memori spesial 10.10.2010, kuundang seluruh penduduk kebun binatang menyaksikan hari yang paling membahagiakan buat kami. Pukul 10 pagi, sahabat karibku mulai memadati lokasi perkawinan. Meski kami hanya menyajikan menu ala kadarnya, papi mami, aku dan dia maupun para tamu dilungkupi rasa kebahagiaan.

“Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi pasangan kekal dan abadi,” doa salah satu temanku. Lalu ku amini. Satu persatu para tamu mengucapkan hal serupa pada kami. Tak lupa, untuk mengabadikan momen-momen spesial itu, ku undang fotografer untuk sekadar jeprat-jepret pose kami dalam berbagai gaya. Akan kami pajang foto memori itu pada pohon besar tempatku tinggal bersama suami serta papi mami. (sm)

Japara, 20 Oktober 2010
Previous
Next Post »