https://www.kompasiana.com |
Lantunan takbir yang bergema sejak maghrib tiba, membuat hati Lukman semakin bahagia. Kebahagiaan yang terpancar dari putra kelima Abu Kholil tersebut karena esok, 10 Dzulhijjah ingin sekali menyaksikan penyembelihan hewan qurbannya di masjid.
Sebagai anak paling bontot, Lukman kebagian Qurban untuk terakhir pula. Abah-ummi, Abu Kholil dan Umi Latifah giliran paling awal. Kakak pertama hingga keempat, Abdul Manaf, Siti Sholihah, Zaki Fuad dan Umi Abdillah sudah berqurban terakhir pada Idul Adha kemarin.
Selepas maghrib ia bersama empat kawannya Nasril, Zaki, Zaka dan Amar ke musholla dekat rumah untuk ikut takbiran. Sejak 18.30 wib dan seterusnya suara takbir digemakan Lukman dkk, dilantunkan dengan lantang meski suaranya terdengar fals. Maklumlah, kelima sahabat karib tersebut baru kelas 3 SD. Untuk Madrasah Diniyah, siang hari baru beranjak kelas 2.
Malam semakin larut. Saat pukul 22.30 wib Abu Kholil, abah Lukman datang ke musholla. Beliau menyuruhnya pulang. “Nak, sudah waktunya pulang. Hari sudah malam. Besok harus ke masjid, shalat Idul Adha dan menyaksikan penyembelihan hewan qurban,” pinta abahnya.
Selain itu, abah juga meminta keempat sahabat yang lain, pulang. Kelima anak tersebut akhirnya pulang. Semantara abah, salah satu dari imam shalat maktubah tidak langsung. Sejenak beliau menemani kaum musholla yang mengumandangkan takbir. Pukul 00.00 abah berpamitan sedangkan takmir dan kaum musholla tetap melanjutkan kumandang takbir hingga Subuh tiba.
***
Meski kecapaian, mata Lukman sulit dipejamkan. Jarum jam didinding kamarnya menunjukkan pukul 00.30 tetapi ia tak bisa segera tidur seperti hari biasa. Mungkin karena nyaringnya lantunan takbir dari mushola dan masjid dekat rumahnya yang saling bersamaan. Juga, ia sudah kepikiran ingin melihat penyembelihan qurban esok pagi. Kedua alasan itu yang menyebabkan ia susah tidur.
Fajar tiba, pagi menjelang. Suara takbir yang semalam mendengung dari setiap musholla dan masjid setelah Subuh hanya tinggal satu pusat suara, dari masjid.
Abah, ummi serta keempat putra-putrinya mulai bergegas menuju masjid. Satu persatu pasangan suami istri Abu Kholil dan Umi Latifah sudah usai mandi sejak Subuh tadi. Sementara, Umi Abdillah, kakak keempat Lukman yang sedari tadi membangunkannya, tak bangun-bangun juga. “Man, banguun! Ayo ke masjid! Shalat Id kemudian menyaksikan hewan qurbanmu.”
Lukman tak segera bangun. Setelah diketahui abah, beliau meminta agar Umi membiarkannya. Tak seperti biasanya memang, Lukman tidur larut malam. Sebab, setiap hari sebelum jam 21.00 ia sudah tidur setelah belajar bersama kakaknya, Umi Abdillah.
Shalat Id telah usai. Pemotongan qurban milik Lukman, selesai sudah. Sementara Lukman baru saja bangun. Dari arah lima ratusan meter ia mendengar suara takbir bergema ke masjid. Ia pun beranjak dari kamar tidur, menemui ibunya.
“Ummi, antarkan aku ke masjid untuk melihat penyembelihan qurban,” pintanya kepada ibunda tercinta yang duduk diteras rumah. “Nak, hewan qurbanmu sudah disembelih. Barusan kakakmu ikut menyaksikannya.”
Lukman pun menangis terbata-bata karena kecewa tidak bisa menyaksikan hewan qurbannya. Ummi berusaha menghentikan tangisnya tetapi semakin menjadi-jadi. Ummi mulai bercerita, binatang yang di qurbankan kelak akan menjadi kendaraan di surga. Meski saat penyembelihan tidak ikut menyaksikan tetapi sudah tentu nanti menjadi miliknya. Mendengarkan kisah Ummi, Lukman pun menjadi lega. (sm)
Sebagai anak paling bontot, Lukman kebagian Qurban untuk terakhir pula. Abah-ummi, Abu Kholil dan Umi Latifah giliran paling awal. Kakak pertama hingga keempat, Abdul Manaf, Siti Sholihah, Zaki Fuad dan Umi Abdillah sudah berqurban terakhir pada Idul Adha kemarin.
Selepas maghrib ia bersama empat kawannya Nasril, Zaki, Zaka dan Amar ke musholla dekat rumah untuk ikut takbiran. Sejak 18.30 wib dan seterusnya suara takbir digemakan Lukman dkk, dilantunkan dengan lantang meski suaranya terdengar fals. Maklumlah, kelima sahabat karib tersebut baru kelas 3 SD. Untuk Madrasah Diniyah, siang hari baru beranjak kelas 2.
Malam semakin larut. Saat pukul 22.30 wib Abu Kholil, abah Lukman datang ke musholla. Beliau menyuruhnya pulang. “Nak, sudah waktunya pulang. Hari sudah malam. Besok harus ke masjid, shalat Idul Adha dan menyaksikan penyembelihan hewan qurban,” pinta abahnya.
Selain itu, abah juga meminta keempat sahabat yang lain, pulang. Kelima anak tersebut akhirnya pulang. Semantara abah, salah satu dari imam shalat maktubah tidak langsung. Sejenak beliau menemani kaum musholla yang mengumandangkan takbir. Pukul 00.00 abah berpamitan sedangkan takmir dan kaum musholla tetap melanjutkan kumandang takbir hingga Subuh tiba.
***
Meski kecapaian, mata Lukman sulit dipejamkan. Jarum jam didinding kamarnya menunjukkan pukul 00.30 tetapi ia tak bisa segera tidur seperti hari biasa. Mungkin karena nyaringnya lantunan takbir dari mushola dan masjid dekat rumahnya yang saling bersamaan. Juga, ia sudah kepikiran ingin melihat penyembelihan qurban esok pagi. Kedua alasan itu yang menyebabkan ia susah tidur.
Fajar tiba, pagi menjelang. Suara takbir yang semalam mendengung dari setiap musholla dan masjid setelah Subuh hanya tinggal satu pusat suara, dari masjid.
Abah, ummi serta keempat putra-putrinya mulai bergegas menuju masjid. Satu persatu pasangan suami istri Abu Kholil dan Umi Latifah sudah usai mandi sejak Subuh tadi. Sementara, Umi Abdillah, kakak keempat Lukman yang sedari tadi membangunkannya, tak bangun-bangun juga. “Man, banguun! Ayo ke masjid! Shalat Id kemudian menyaksikan hewan qurbanmu.”
Lukman tak segera bangun. Setelah diketahui abah, beliau meminta agar Umi membiarkannya. Tak seperti biasanya memang, Lukman tidur larut malam. Sebab, setiap hari sebelum jam 21.00 ia sudah tidur setelah belajar bersama kakaknya, Umi Abdillah.
Shalat Id telah usai. Pemotongan qurban milik Lukman, selesai sudah. Sementara Lukman baru saja bangun. Dari arah lima ratusan meter ia mendengar suara takbir bergema ke masjid. Ia pun beranjak dari kamar tidur, menemui ibunya.
“Ummi, antarkan aku ke masjid untuk melihat penyembelihan qurban,” pintanya kepada ibunda tercinta yang duduk diteras rumah. “Nak, hewan qurbanmu sudah disembelih. Barusan kakakmu ikut menyaksikannya.”
Lukman pun menangis terbata-bata karena kecewa tidak bisa menyaksikan hewan qurbannya. Ummi berusaha menghentikan tangisnya tetapi semakin menjadi-jadi. Ummi mulai bercerita, binatang yang di qurbankan kelak akan menjadi kendaraan di surga. Meski saat penyembelihan tidak ikut menyaksikan tetapi sudah tentu nanti menjadi miliknya. Mendengarkan kisah Ummi, Lukman pun menjadi lega. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon