http://www.rumahkurmasahara.com |
Bangsa kita saat ini lagi mengalami degdradasi kejujuran. Tentu, jujur dalam hal apa saja. Boleh dikata jujur telah menjadi barang langka. Saking langkanya, disana dan disini susah sekali menemukan sosok-sosok yang memiliki kejujuran.
Lihat saja para pejabat-pejabat kita. Sudah jelas-jelas mereka menyelewengkan duit negara tapi malah mengelak alias ngomong tidak. Akhirnya, uang yang semestinya digunakan untuk menyejahterakan wong cilik raib-lah sudah. Padahal, konon apa yang mereka kerjakan, sejatinya untuk menjalankan aspirasi rakyat.
Mengamati realita yang ada itu, kita kudu menelaah akar masalah (asal muasalnya) terlebih dahulu. Para wakil rakyat yang kini duduk di kursi empuk itu, dulunya pernah mengenyam pendidikan: mulai sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Boleh dibilang ketidakjujuran itu sedikit banyak telah diajarkan dibangku sekolah. Semisal, daripada sekolah harus menanggung malu jika ada yang nggak lulus Ujian Nasional (UN) maka guru menyarankan kepada peserta didiknya untuk bekerjasama, menyontek maupun dengan aktivitas negatif yang lain. Alhasil, saat UN berlangsung mereka menunaikan apa yang guru perintahkan.
Di kampus pun demikian. Berbagai aktivitas unit kegiatan mahasiswa bisa dipastikan memperoleh pendanaan dari birokrasi kampus. Anehnya, sebelum ngejalanin kegiatan mereka harus menyelesaikan surat pertanggung jawaban. Maka, muncullah ide-ide buruk dari membikin nota pembelian barang maupun stempel palsu atau meminta nota-nota kosong dari toko sesuai dengan kebutuhan. Ironisnya, untuk mencari keuntungan layaknya bekerja, penulisan di nota dilipatgandakan sehingga sisanya bisa masuk ke kocek sendiri.
Berakar dari itu, tak salah kiranya jika pejabat-pejabat kita saat ini benar-benar menjadi insan yang anti-kejujuran. Sebab, saat masih duduk dibangku sekolah mereka telah dicekoki ketidakjujuran. Selain itu, karena njlimetnya birokrasi sekolah maupun kampus sehingga efek-efek negatif bernuansa ketidakjujuran juga kerap dilakukan.
Negeri kita saat ini memang sedang dilanda kemiskinan kejujuran. Padahal, jujur semestinya akan mengarah pada kemujuran. Dengan kejujuran dari semua elemen, bangsa ini akan menuai benih-benih kemakmuran. Berbicara jujur kita perlu meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebab, Nabi pungkasan itu dianugerahi oleh Allah SWT dengan sifat sidiq (jujur). Artinya, dia jujur kepada siapa saja dan dalam hal apa saja.
Sejalan dengan itu, Albert Hendra Wijaya pernah mengatakan bahwa jujur adalah sebentuk pengakuan, perkataan dan perbuatan untuk memberikan informasi sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Oleh karena itu, mulailah dari diri kita untuk berlaku jujur disaat bangsa kita ini sedang miskin kejujuran. Tentu melakukan kejujuran dalam segala hal meski dari hal yang paling kecil. Niscaya kelak kita akan menjadi insan yang mujur. Begitu. (sm)
Lihat saja para pejabat-pejabat kita. Sudah jelas-jelas mereka menyelewengkan duit negara tapi malah mengelak alias ngomong tidak. Akhirnya, uang yang semestinya digunakan untuk menyejahterakan wong cilik raib-lah sudah. Padahal, konon apa yang mereka kerjakan, sejatinya untuk menjalankan aspirasi rakyat.
Mengamati realita yang ada itu, kita kudu menelaah akar masalah (asal muasalnya) terlebih dahulu. Para wakil rakyat yang kini duduk di kursi empuk itu, dulunya pernah mengenyam pendidikan: mulai sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Boleh dibilang ketidakjujuran itu sedikit banyak telah diajarkan dibangku sekolah. Semisal, daripada sekolah harus menanggung malu jika ada yang nggak lulus Ujian Nasional (UN) maka guru menyarankan kepada peserta didiknya untuk bekerjasama, menyontek maupun dengan aktivitas negatif yang lain. Alhasil, saat UN berlangsung mereka menunaikan apa yang guru perintahkan.
Di kampus pun demikian. Berbagai aktivitas unit kegiatan mahasiswa bisa dipastikan memperoleh pendanaan dari birokrasi kampus. Anehnya, sebelum ngejalanin kegiatan mereka harus menyelesaikan surat pertanggung jawaban. Maka, muncullah ide-ide buruk dari membikin nota pembelian barang maupun stempel palsu atau meminta nota-nota kosong dari toko sesuai dengan kebutuhan. Ironisnya, untuk mencari keuntungan layaknya bekerja, penulisan di nota dilipatgandakan sehingga sisanya bisa masuk ke kocek sendiri.
Berakar dari itu, tak salah kiranya jika pejabat-pejabat kita saat ini benar-benar menjadi insan yang anti-kejujuran. Sebab, saat masih duduk dibangku sekolah mereka telah dicekoki ketidakjujuran. Selain itu, karena njlimetnya birokrasi sekolah maupun kampus sehingga efek-efek negatif bernuansa ketidakjujuran juga kerap dilakukan.
Negeri kita saat ini memang sedang dilanda kemiskinan kejujuran. Padahal, jujur semestinya akan mengarah pada kemujuran. Dengan kejujuran dari semua elemen, bangsa ini akan menuai benih-benih kemakmuran. Berbicara jujur kita perlu meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebab, Nabi pungkasan itu dianugerahi oleh Allah SWT dengan sifat sidiq (jujur). Artinya, dia jujur kepada siapa saja dan dalam hal apa saja.
Sejalan dengan itu, Albert Hendra Wijaya pernah mengatakan bahwa jujur adalah sebentuk pengakuan, perkataan dan perbuatan untuk memberikan informasi sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Oleh karena itu, mulailah dari diri kita untuk berlaku jujur disaat bangsa kita ini sedang miskin kejujuran. Tentu melakukan kejujuran dalam segala hal meski dari hal yang paling kecil. Niscaya kelak kita akan menjadi insan yang mujur. Begitu. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon