Ilustrasi (murianews.com) |
Oleh Syaiful Mustaqim
Mahasiswa asal Jepara yang hijrah dan menempuh pendidikan tinggi ke pelbagai daerah tergabung dalam organisasi mahasiswa daerah (ormada). Beberapa ormada yang tersebar di beberapa daerah diantaranya: Simaharaja (Jakarta), Maskara (Yogyakarta), KMJS (Semarang), KMJ (Solo) serta Papikama (Malang).
Dekade akhir 90an hingga awal 2000an ormada Jepara yang ada menurut hemat penulis mengalami puncak kejayaan. Saat itu, ormada Jepara berperan sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa asal kota ukir yang menimba ilmu di pelbagai daerah. Visi-misinya menjadi ajang silaturahmi dan edukasi dalam membangun daya intelektual.
Lebih dari itu, keberadaannya sebagai agen controlling (pengawas) terhadap kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan yang anti-rakyat kerap dibendung dengan komentar (pernyataan) di media. Aksi turun ke jalan serta audiensi menjadi sarana tatap muka aktivis ormada dengan para pejabat. Hingga, upaya meredam isu panas saat menjelang pilkada awal 2000an. Waktu itu, salah satu golongan yang mengusung calon kepala daerah berencana akan membumihanguskan bumi Kartini jika bakal calon yang diusungnya gagal duduk di kursi empuk pemerintah kabupaten.
Akhirnya, oleh salah satu ormada Jepara dalam mengantisipasi isu memanas tersebut dibentangkanlah spanduk di jalan-jalan utama serta membagikan leaflet (selebaran) kepada masyarakat yang isinya ajakan dan himbauan untuk tetap rukun meski terhadap lawan politiknya.
Selain itu, ormada Jepara juga berperan dalam membangun daerah. Berbagai agenda yang bersentuhan dengan nguri-nguri seni-budaya, kegiatan sosial, kepedulian terhadap lingkungan menjadi kegiatan tahunan ormada. Apalagi kegiatan yang bernapaskan intelektual: bedah buku, seminar, talkshow hingga civic education juga menjadi salah satu kegiatan penting bagi ormada.
Kemandegan Ormada
Sejak 2005, aktivitas-aktivitas ormada yang dulunya begitu membumi mulai saat itu pula mengalami stagnasi (kemandegan). Di kota kretek, tersiar kabar, mahasiswa Jepara pernah membentuk ormada serupa. Beberapa kegiatan pun sempat digeber. Akan tetapi, karena problema ideologi yang saling berbenturan, organisasi mahasiswa daerah itu pun akhirnya mandeg ditengah jalan.
Agenda besar yang pernah diselenggarakan yakni: Lokakarya dan Temu Mahasiswa Jepara se-Indonesia, Agustus 2006 silam yang diikuti oleh mahasiswa Jepara di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Kudus, Malang dan Jepara yang bertujuan menyatukan visi-misi ormada Jepara tampaknya juga belum jelas jeluntrungannya begitu pula dengan follow up (tindak lanjutnya).
Kemandegan tersebut bukan berarti tidak ada satu ormada pun yang menjalankan kegiatan melainkan boleh dibilang hanya didominasi oleh satu atau beberapa organisasi mahasiswa daerah saja.
Hal itu tentu ditengarahi oleh beberapa hal: 1) Lemahnya militansi, totalitas dan loyalitas. Nguri-nguri ormada boleh dikata menjadi urutan kesekian. Artinya, lebih banyak mahasiswa asal daerah yang lebih memilih aktif di intra maupun ekstra kampus. Dengan banyaknya mengikuti kegiatan diluar ormada sehingga banyak yang melupakan ormada. Hal itulah yang menjadi penyebab militansi, totalitas serta loyalitas terhadap organisasi mengalami degdradasi.
2) Jauhnya akses daerah. Aktivis ormada yang sedang menimba ilmu di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang dan sekitarnya terbentur dengan jauhnya akses terhadap daerah. Imbasnya, kegiatan yang diperuntukkan untuk membangun daerah minimal hanya dilakukan setahun, sekali hingga dua agenda saja. Selebihnya kegiatan-kegiatan hanya bisa difokuskan di wilayah kampus. 3) Minimnya pendanaan. Ide-ide kreatif aktivis ormada barangkali akan mandeg manakala tidak ada pendanaan. Sebab, pendanaan menjadi penopang keberhasilan kegiatan.
Ketika ormada benar-benar mengalami stagnasi hendaknya para mantan aktivis maupun sesepuh ormada yang telah menuai kesuksesan (kembali) dihadirkan untuk memotivasi para penerusnya. Sehingga, akan terbangun kembali semangat membangun daerah melalui ormada.
Sementara yang berkenaan dengan pendanaan, pegiat ormada mesti pinter-pinternya mengakses jaringan dengan pejabat, pengusaha serta dengan akademisi. Atau, berinisiatif menggagas ormada berbasis perekonomian. Hal itu, nantinya sedikit banyak akan menunjang mulusnya laju organisasi. Pemerintah kabupaten pun demikian. Perlu lebih memberikan apresiasi maupun memberikan support pendanaan untuk kelancaran kegiatan.
Pekerjaan Rumah
Masih banyak urusan serta tetek-bengek yang menjadi pekerjaan rumah (PR) dan mesti dirampungkan ormada. Apalagi dalam rahim ormada senantiasa terpatri agent social of change (agen perubahan sosial). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat kudu direspon dengan aksi turun ke jalan, audiensi atau pun dengan pernyataan sikap (komentar) di media (koran, radio dan televisi).
Tak hanya itu, maraknya penyalahgunaan narkoba, merebaknya free sex, menjamurnya prostitusi dari kalangan putih biru hingga putih abu-abu juga menjadi serentetan tambahan pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan. Hingga, masih sunyinya geliat intelektual (dari minimnya diskusi kecil-kecilan, lemah tradisi berkarya ilmiah hingga minimnya dunia literasi) pun perlu dipertimbangkan ormada untuk diselesaikan.
Sehingga, serentetan pekerjaan rumah yang mahabanyak itu semestinya menjadikan para aktivis ormada (kembali) bersemangat. Nantinya, tidak ada lagi yang namanya masa stagnasi ormada. Semoga.
Mahasiswa asal Jepara yang hijrah dan menempuh pendidikan tinggi ke pelbagai daerah tergabung dalam organisasi mahasiswa daerah (ormada). Beberapa ormada yang tersebar di beberapa daerah diantaranya: Simaharaja (Jakarta), Maskara (Yogyakarta), KMJS (Semarang), KMJ (Solo) serta Papikama (Malang).
Dekade akhir 90an hingga awal 2000an ormada Jepara yang ada menurut hemat penulis mengalami puncak kejayaan. Saat itu, ormada Jepara berperan sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa asal kota ukir yang menimba ilmu di pelbagai daerah. Visi-misinya menjadi ajang silaturahmi dan edukasi dalam membangun daya intelektual.
Lebih dari itu, keberadaannya sebagai agen controlling (pengawas) terhadap kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan yang anti-rakyat kerap dibendung dengan komentar (pernyataan) di media. Aksi turun ke jalan serta audiensi menjadi sarana tatap muka aktivis ormada dengan para pejabat. Hingga, upaya meredam isu panas saat menjelang pilkada awal 2000an. Waktu itu, salah satu golongan yang mengusung calon kepala daerah berencana akan membumihanguskan bumi Kartini jika bakal calon yang diusungnya gagal duduk di kursi empuk pemerintah kabupaten.
Akhirnya, oleh salah satu ormada Jepara dalam mengantisipasi isu memanas tersebut dibentangkanlah spanduk di jalan-jalan utama serta membagikan leaflet (selebaran) kepada masyarakat yang isinya ajakan dan himbauan untuk tetap rukun meski terhadap lawan politiknya.
Selain itu, ormada Jepara juga berperan dalam membangun daerah. Berbagai agenda yang bersentuhan dengan nguri-nguri seni-budaya, kegiatan sosial, kepedulian terhadap lingkungan menjadi kegiatan tahunan ormada. Apalagi kegiatan yang bernapaskan intelektual: bedah buku, seminar, talkshow hingga civic education juga menjadi salah satu kegiatan penting bagi ormada.
Kemandegan Ormada
Sejak 2005, aktivitas-aktivitas ormada yang dulunya begitu membumi mulai saat itu pula mengalami stagnasi (kemandegan). Di kota kretek, tersiar kabar, mahasiswa Jepara pernah membentuk ormada serupa. Beberapa kegiatan pun sempat digeber. Akan tetapi, karena problema ideologi yang saling berbenturan, organisasi mahasiswa daerah itu pun akhirnya mandeg ditengah jalan.
Agenda besar yang pernah diselenggarakan yakni: Lokakarya dan Temu Mahasiswa Jepara se-Indonesia, Agustus 2006 silam yang diikuti oleh mahasiswa Jepara di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Kudus, Malang dan Jepara yang bertujuan menyatukan visi-misi ormada Jepara tampaknya juga belum jelas jeluntrungannya begitu pula dengan follow up (tindak lanjutnya).
Kemandegan tersebut bukan berarti tidak ada satu ormada pun yang menjalankan kegiatan melainkan boleh dibilang hanya didominasi oleh satu atau beberapa organisasi mahasiswa daerah saja.
Hal itu tentu ditengarahi oleh beberapa hal: 1) Lemahnya militansi, totalitas dan loyalitas. Nguri-nguri ormada boleh dikata menjadi urutan kesekian. Artinya, lebih banyak mahasiswa asal daerah yang lebih memilih aktif di intra maupun ekstra kampus. Dengan banyaknya mengikuti kegiatan diluar ormada sehingga banyak yang melupakan ormada. Hal itulah yang menjadi penyebab militansi, totalitas serta loyalitas terhadap organisasi mengalami degdradasi.
2) Jauhnya akses daerah. Aktivis ormada yang sedang menimba ilmu di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang dan sekitarnya terbentur dengan jauhnya akses terhadap daerah. Imbasnya, kegiatan yang diperuntukkan untuk membangun daerah minimal hanya dilakukan setahun, sekali hingga dua agenda saja. Selebihnya kegiatan-kegiatan hanya bisa difokuskan di wilayah kampus. 3) Minimnya pendanaan. Ide-ide kreatif aktivis ormada barangkali akan mandeg manakala tidak ada pendanaan. Sebab, pendanaan menjadi penopang keberhasilan kegiatan.
Ketika ormada benar-benar mengalami stagnasi hendaknya para mantan aktivis maupun sesepuh ormada yang telah menuai kesuksesan (kembali) dihadirkan untuk memotivasi para penerusnya. Sehingga, akan terbangun kembali semangat membangun daerah melalui ormada.
Sementara yang berkenaan dengan pendanaan, pegiat ormada mesti pinter-pinternya mengakses jaringan dengan pejabat, pengusaha serta dengan akademisi. Atau, berinisiatif menggagas ormada berbasis perekonomian. Hal itu, nantinya sedikit banyak akan menunjang mulusnya laju organisasi. Pemerintah kabupaten pun demikian. Perlu lebih memberikan apresiasi maupun memberikan support pendanaan untuk kelancaran kegiatan.
Pekerjaan Rumah
Masih banyak urusan serta tetek-bengek yang menjadi pekerjaan rumah (PR) dan mesti dirampungkan ormada. Apalagi dalam rahim ormada senantiasa terpatri agent social of change (agen perubahan sosial). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat kudu direspon dengan aksi turun ke jalan, audiensi atau pun dengan pernyataan sikap (komentar) di media (koran, radio dan televisi).
Tak hanya itu, maraknya penyalahgunaan narkoba, merebaknya free sex, menjamurnya prostitusi dari kalangan putih biru hingga putih abu-abu juga menjadi serentetan tambahan pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan. Hingga, masih sunyinya geliat intelektual (dari minimnya diskusi kecil-kecilan, lemah tradisi berkarya ilmiah hingga minimnya dunia literasi) pun perlu dipertimbangkan ormada untuk diselesaikan.
Sehingga, serentetan pekerjaan rumah yang mahabanyak itu semestinya menjadikan para aktivis ormada (kembali) bersemangat. Nantinya, tidak ada lagi yang namanya masa stagnasi ormada. Semoga.
ConversionConversion EmoticonEmoticon