Mampukah Sekolah Bebas Rokok?

Ilustrasi (kumparan.com)
Oleh Syaiful Mustaqim

MENGISAP sebatang rokok bagi kalangan pelajar saat ini menjadi salah satu kebutuhan primer. Bagaimana tidak? Bagi mereka (pelajar) yang telah sampai pada titik candu, ibaratnya tidak makan bukanlah menjadikan perkara—yang terpenting mereka bisa melakukan aktivitas yang oleh pemerintah dapat merugikan kesehatan tersebut.

Dulu, aktivitas yang berdampak negatif tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi alasannya takut jika diketahui oleh pihak sekolah maupun orangtua di rumah. Namun sekarang tidak. Merokok telah menjadi pemandangan yang tidak bisa kita hindari saben hari. Bisa dilakukan di kantin sekolah, saat jam mata pelajaran kosong tiba hingga setelah pulang dari sekolah: meski masih mengenakan seragam.

Anehnya bukan hanya mereka (pelajar)—yang berseragam putih abu-abu saja, parahnya mereka yang mengenakan putih biru hingga putih merah juga ikut-ikutan.

Merokok bukanlah laku yang berasal dari bakat maupun bawaan lahir. Kalaupun ada, boleh dikata orang tersebut mengalami kelainan. Akan tetapi, aktivitas tersebut mayoritas dipengaruhi oleh lingkungan maupun pergaulan. Lingkungan tempat mereka ngumpul dan dengan siapa mereka bergaul sangat berpotensi merubah perilaku dalam sekejap.

Jika lingkungan tempat bergaulnya adalah komunitas pecandu rokok: bagi yang semula antirokok lambat laun akan menjadi pecandu. Sebab, ada unsur paksaan agar dalam satu lingkungan tersebut memang dihuni dengan tujuan yang sama.

Bagi pelajar, merokok tidak perlu dilakukan. Sebab, uang saku yang diberikan orangtua mestinya digunakan untuk mengisi perut maupun membayar biaya pendidikan. Bukan sebaliknya, duit dihabiskan untuk mengisap rokok. Imbasnya, pelajar yang mencapai fase kecanduan, hal-hal negatif semisal memalak teman satu sekolah maupun sekolah lain kerap dilakukan. Itu dilakukan untuk memuaskan hasrat candunya.

Oleh karenanya sekolah bebas rokok adalah sebuah jawaban. Jawaban atas pelajar yang merokok bukan dari jerih payahnya sendiri melainkan dari duit orangtuanya. Sehingga, Peraturan Walikota Semarang No.12 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) serta Kawasan Terbatas Merokok (KTM) semestinya direspon positif oleh lembaga pendidikan (Jawa Pos, 21/1). Hal itu dilakukan untuk mengurangi rokok masuk sekolah.

Dengan demikian, kiranya perlu kerjasama semua pihak: guru di sekolah senantiasa mengontrol dan menegur anak didiknya yang merokok. Begitu pula orangtua di rumah. Tetapi bukan hanya sekadar mengontrol dan menegur: guru dan orangtua juga menjadi figur (tauladan). Tauladan untuk tidak merokok dihadapan mereka. Selain itu, jika ketahuan merokok guru maupun orangtua memberikan hukuman yang bernilai edukatif. Sekolah bebas rokok bukan bermaksud mengurangi kuota pengonsumsi rokok melainkan meminimalisasi perokok yang masih meminta duit kepada orangtua. Begitu.
Previous
Next Post »