Menepis UN Phobia

HAJAT nasional pendidikan kita yang ditunaikan setahun sekali, Ujian Nasional (UN) ternyata membawa ketakutan mendalam bagi sejumlah pelajar yang melakoninya. Phobia (ketakutan) dari individu peserta didik manakala harus berhadapan dengan ketidaklulusan. Ketidaklulusan itu harus ditebus dengan ujian ulangan maupun mengikuti UN lagi di tahun berikutnya.

Phobia semakin menjadi-jadi dan berlarut-larut manakala orangtua menuntut anaknya lulus dengan nilai yang memuaskan. Karenanya, orangtua yang memiliki harta lebih rela memasrahkan mereka memasuki bimbingan belajar pra-UN. Selain tuntutan dari orang tua ditambah wejangan dari guru di sekolah.

Doktin yang digelontorkan pendidik tentu seratus persen mengarah agar siswa menuai predikat kelulusan. Konon, ketidaklulusan pelajar bagi lembaga pendidikan yang terkait dianggap “aib” dan citra buruk bagi eksistensi sekolah. Alih-alih akan mengurangi kuota calon peserta didik baru sekolah itu. Sehingga, pada poin itulah sekolah kerapkali meng-halal-kan beranekaragam cara.

Cara-cara negatif itu bisa saja berupa menyuruh siswa satu dengan siswa yang lain bekerjasama dalam mengerjakan soal, membuat contekan, hingga membeli soal bocoran meski harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit nominalnya.

Sebenarnya tuntutan “lulus” dari orangtua di rumah maupun guru di sekolah malah menjadikan menderita “anak didik”. Pasalnya, yang ada dibenak mereka adalah--lulus, lulus dan lulus. Mapel jam tambahan yang telah dijadwalkan sekolah, skedul bimbingan belajar yang diikuti, belajar kelompok dengan teman sekelas maupun sekolah lain hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Sehingga hasil dari proses pembelajaran itu akan menuai kegagalan.

Tentu berbeda ketika orangtua maupun guru tidak ada unsur menuntut: yang terjadi nantinya mereka selain enjoy menghadapi UN yang dianggap momok itu juga akan tahu sendiri apa yang mesti dilakoninya: belajar, berikhtiar serta berdoa.

Semestinya kita belajar dari efek buruk hajat tahunan pendidikan kita itu. Tentu tidak sedikit siswa frustasi, mengurung diri di kamar, enggan bertemu teman, bersedih tiada henti hingga mencoba melakukan laku bunuh diri hanya gara-gara predikat ketidaklulusan itu. Toh, tidaklulus pun pemerintah masih berbaik hati dengan memberikan ujian ulangan maupun UN di tahun depan.

Timbulnya ketakutan pada UN mestinya tidak ada lagi di tahun ini. Jika masih ada menjadi tugas para motivator handal. Motivator adalah sekelompok yang peduli dengan efek negatif hasil hajat tahunan pendidikan kita. Tentu memotivasi mereka selain belajar, berikhtiar dan berdoa juga harus bisa menerima predikat ketidaklulusan dengan legawa. Begitu.
(Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng