Menata Ulang Tradisi “Maleman”

Suara Merdeka Cybernews, 02 Desember 2009

Di
kecamatan Kalinyamatan, kabupaten Jepara, terdapat sebuah tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun silam. Tradisi itu kerap dilaksanakan menjelang datangnya hari raya Idul Fitri, tepatnya sekitar setengah bulan sebelum 1 Syawal tiba. Beberapa desa yang menjadi lokasi tradisi itu, desa Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo. Kebetulan ketiga desa itu memang saling berdekatan sebab batas desa hanya berupa jalan raya maupun kali (sungai).

Mengenai istilah, bagi sebagian warga, ada yang menyebutnya dengan pasar malam, dikarenakan pusat perbelanjaan itu buka mulai sore hingga malam hari. Sehingga, sebagian orang menyebutnya pasar malam. Ada pula nama lain yang menamakannya premanan.

Premanan berasal dari bahasa jawa mremo (menjajakan dagangan). Menjajakan dagangan disepanjang jalan Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo. Namun, penulis lebih sepakat dengan apa yang diwartawakan koran Tempo (19/09/2008) lalu. Menurut pemberitaan Koran bertaraf nasional itu menyebut tradisi adiluhung warga Kalinyamatan itu dengan sebutan “maleman”.

Maleman merupakan sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak tahun 1930-an. Awal mulanya, tradisi itu dilaksanakan karena pemerintah pusat terlambat mengumumkan ketetapan hari raya Idul Fitri. Saat itu, pengumuman Lebaran dilaksanakan pada tengah malam. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalinyamatan (dulu—kecamatan Pecangaan) dan sekitarnya sebelum datangnya Lebaran, para pedagang berbondong-bondong menjajakan dagangannya di tengah jalan.

Boleh dikata Maleman, tidak jauh berbeda dengan tradisi Dandangan di kota Kudus maupun Dugderan di kota Semarang. Bedanya, Dandangan dan Dugderan tradisi dalam rangka menyambut datangnya 1 Ramadhan. Sementara, Maleman digelar menyambut kehadiran 1 Syawal. Jika di Kudus terdapat Dandangan, di Semarang orang menyebut Dugderan maka di Jepara pun juga ada, yang lebih familiar dikatakan Maleman.

Kini, meski telah puluhan tahun silam para pedagang nomaden yang berasal dari Jepara, Kudus, Semarang, Demak, Solo, Yogyakarta serta beberapa kota di Jawa Timur ikut meramaikan tradisi itu. Mereka menjajakan dagangannya mulai pakaian, sandal, sepatu, makanan, beraneka asesoris hingga beraneka hiburan mainan anak-anak.

Semrawut
Dari tahun ke tahun, tradisi itu tidak semakin menunjukkan kerapiannya. Sebaliknya, lambat laut malah semakin semrawut. Kesemrawutan bisa dilihat dari para pedagang ketika mendirikan stan. Menurut saya, stan-stan yang didirikan semaunya sendiri. Jika disaksikan tidak terlihat tertata rapi. Sehingga, tidak adanya perpaduan stan yang menunjukkan satu jenis dagangan. Selain itu, jaraknya pula sangat tidak teratur.

Tentu, hal itu sangat berbeda ketika tahun 2000-an silam. Dari jalan raya Margoyoso, Kriyan, dan Purwogondo, stan-stan berdiri dengan tertata rapi. Sementara untuk aneka hiburan mainan dipusatkan di barat sungai Margoyoso atau barat pasar lama Margoyoso. Dulu, nuansa keramaian tradisi itu juga masih terlihat jelas ratusan bahkan ribuan manusia berlalu lalang memadati area stan-stan yang ada. Berbeda saat ini, disaat marak berdirinya minimarket maupun supermarket sehingga masyarakat mulai enggan untuk berbelanja ke tempat yang boleh dikata tradisional itu.

Seiring dengan makin padatnya arus lalu lintas pula, stan-stan dulu yang berjajar rapi disekitar jalan Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo itu dari tahun ke tahun harus mengalami perpindahan yang tak menentu. Sebab jika harus bertahan diketiga lokasi itu mengganggu arus lintas khususnya pada malam hari.

Penataan Ulang
Meskipun saat ini masyarakat lebih enjoy ketika berbelanja di minimarket maupun supermarket akan tetapi tidak ada salahnya jika kedepan tradisi Maleman perlu ditata ulang. Penataan ulang itu perlu kerjasama antara pejabat pemerintah kecamatan, pemerintah desa (Margoyoso, Kriyan, Purwogondo) yang menjadi lokasi dan para pedagang yang bersangkutan.

Kerjasama perlu dilakukan dalam rangka menggagas sebuah tradisi yang tertata rapi. Sehingga, kedepan tradisi Maleman tertata mulai dari utara lapangan Kenari desa Purwogondo berjajar hingga pasar Kalinyamatan (berjarak sekitar 300 meter). Stan-stan yang berdiri, mestinya, sepadan sesuai dagangan yang dijajakan. Stan pakaian dengan stan pakaian lain, stan makanan berjajar dengan stan makanan lain begitu pula seterusnya. Sementara untuk aneka mainan anak, dipusatkan diutara Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kalinyamatan.

Menata ulang kembali tradisi Maleman dilakukan dalam rangka nguri-nguri (melestarikan) tradisi adiluhung agar senantiasa eksis. Sebab, Maleman merupakan ritus yang kaya akan simbol-simbol religiusitas (agama). Sehingga, sebuah tradisi bernuansa agama itu semestinya tidak dibarengi dengan lelaku negatif. Semisal merayakan tradisi Maleman dengan aneka minum-minuman keras maupun laku mojok (mesum) berjamaah. Hal itu, kerap dilakukan pasangan muda-mudi di tanah kosong, utara kantor KUA Kalinyamatan dan tempat sekitar. Mestinya, menjadi tugas aparat keamanan untuk menindak dan menertibkan lelaku negatif itu.

Kedepan selain perlunya penataan ulang tradisi Maleman juga penertiban pasangan sejoli yang melakukan mojok (mesum) berjamaah juga perlu ditertibkan. Sehingga, nuansa religiusitas yang termaktub dalam tradisi itu tidak tercoreng oleh lelaku negatif. Semoga! (Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »