Taman Baca dan Paradigma Wong Desa


KEBERADAAN taman baca Praja Muda di desa Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara yang diresmikan oleh petinggi setempat beserta perpustakaan daerah kabupaten Jepara beberapa waktu lalu setidaknya telah mengubah paradigma (pola pikir) wong desa. Pasalnya, masyarakat disekitar taman baca kini sudah mau untuk melakukan aktivitas membaca, meski didominasi oleh kalangan pekerja. Biasanya, setelah merampungkan aktivitas hariannya dilanjutkan dengan istirahat. Namun, pasca berdirinya taman baca mindset mereka berubah drastis. Mengapa tidak?

Taman baca yang letaknya berada di gang kauman I ini selalu dikunjungi oleh pengunjung. Pengunjungnya pun beragam mulai pelajar, mahasiswa, guru, maupun pekerja. Sehingga, inilah yang menurut hemat penulis proses perubahan pola pikir masyarakat—mereka mau mengunjungi taman baca walaupun sekadar untuk membaca atau meminjam buku dan dibawa pulang.

Jika tidak ada yang memulai, barangkali hal tersebut susah dilakukan. Semestinya kesetiaan pengelola taman baca dalam rangka mencerdaskan kehidupan warga desa melalui dunia membaca perlu mendapatkan apresiasi oleh semua pihak. Sebab inilah bagian dari habl min an-nas (kesalehan sosial)---memberikan ruang edukatif gratis bagi warga setempat. 

Rintisan “Creative Minority”
Berdirinya taman baca yang telah berjalan beberapa bulan ini sebenarnya tak lepas dari creative minority, sekelompok anak muda yang memiliki jiwa kreatif. Pasca dilantiknya anak-anak muda yang tergabung dalam karang taruna Praja Muda akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah tempat edukatif untuk warga yang dikemudian disebut taman baca Praja Muda.

Bangunannya memang tidak begitu mewah, hanya berupa joglo berukuran 4 x 6 meter dengan atap esbes dan beralaskan bambu. Letaknya pun hanya didepan rumah warga dan belum memiliki sebidang tanah sendiri. Disamping itu, buku referensi yang dimilikinya baru mencapai angka 300-an. Ditambah referensi lain berupa majalah maupun koran harian (meski belum langganan).

Maklum saja taman baca yang saya kelola dengan kawan-kawan, proses pembangunannya hanya mengandalkan swadaya masyarakat sedangkan buku-buku adalah sumbangan dari warga maupun koleksi yang semestinya terdapat dirak-rak para pengelola harus dipindah ke rak taman baca setidaknya untuk menambah jumlah referensi. Dan bantuan-bantuan dari mereka yang peduli.

Sementara bantuan dari instansi terkait harus menanti lama dan hingga kini pun belum ada jawaban yang pasti mengenai bantuan yang akan diberikan. Namun hal itu tidak membuat saya dan teman lain kecewa, akan tetapi spirit creative minority untuk terus memajukan taman baca tetap berkobar. Siapa sangka jika saat pelbagai kegiatan diselenggarakan, audien maupun peserta membludak. Semisal, lomba mewarnai dan melukis yang diikuti oleh pelajar TK maupun SD. Lomba ini diikuti oleh 150 peserta dan antusias mereka juga luar biasa (Suara Merdeka, 24/ 3).

Begitu pula saat peringatan hari kartini dengan pemutaran film Laskar Pelangi. Meski pemutaran film dilakukan malam hari terdapat 500 orang dari berbagai kalangan dari anak-anak, remaja hingga orang tua (Suara Merdeka, 21/4). Mereka datang untuk turut menyaksikan film buah karya Riri Riza yang diangkat dari novel Andrea Hirata, Laskar Pelangi. Juga saat lomba kliping edukatif yang diikuti oleh lima puluh peserta dari SD/ SMP maupun SMA (Suara Merdeka, 26/5).

Minim Perhatian
Disaat warga disekitar taman baca dan disekitarnya benar-benar haus akan mengonsumsi buku, terbukti dari banyaknya pembaca dan peminjam buku yang mencapai angka puluhan dalam tiap harinya akan tetapi perhatian pemerintah daerah masih sangat minim.

Proposal yang sudah diajukan kepada instansi terkait belum ada jawaban meski sudah diajukan beberapa bulan yang lalu. Kini belum ada bantuan satu buku (pun) atau kucuran dana yang berasal dari instansi pemerintah. Angket maupun formulir yang konon katanya akan mendapatkan bantuan buku telah saya isi dan penuhi, namun hasilnya masih nihil. Yang ada hanya 50 buku, peminjaman dari perpustakaan keliling kabupaten Jepara dan setiap dua pekan sekali harus dikembalikan untuk diganti dengan bacaan yang lain.

Semestinya para pekerja sosial yang nguri-nguri taman baca perlu mendapatkan apresiasi. Namun hal itu belum terjadi kepada seluruh pengelola taman baca Praja Muda. Meski setiap hari buka, mulai pagi hingga malam hari.

Penulis hanya berharap pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait segera memperhatikan taman baca yang saya kelola. Jika akan memberikan bantuan tak perlu kiranya mengulur-ngulur dan harus menunggu dalam waktu yang lama. Jika tidak, barangkali tidak akan membuat saya dan kawan-kawan pesimis sebaliknya akan tetap optimis dengan pelbagai kreativitas. Masih banyak agenda lain setelah lomba mewarnai dan melukis anak, pemutaran film edukatif maupun lomba kliping edukatif.

Nah, lumrahnya taman baca memang dijadikan tempat untuk membaca maupun sirkulasi peminjaman buku. Lebih dari itu, kehadiran taman baca Praja Muda akan disetting menjadi ruang edukatif yang enjoy tak seperti perpustakaan sekolah maupun perpustakaan milik pemerintah yang aktivitasnya terkesan monoton. Sehingga lambat laun ikhtiar (usaha) merubah pola pikir wong desa menjadi masyarakat yang cinta membaca akan tercapai. Begitu. (Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »