Pengangguran

Hampir satu tahun, Fachrin (19) lulusan sekolah swasta ini bingung akan membawa kemana ijazah yang diterimanya tahun lalu. Kini dia hanya bisa menjadi seorang pengangguran terdidik. Kalaupun dirinya bekerja, sama sekali belum pernah memfotokopi ijazahnya itu.

Sementara, Doni (26) kisahnya tidaklah berbeda dengan Fachrin. Alumnus sekolah swasta ini hanya bisa meratapi ijazahnya yang mangkrak di almari selama 6 tahun sudah. Kini dia telah bekerja hanya demi mengais reze
ki dan membeli sesuap nasi meski tanpa campur tangan ijazah tersebut.

Kepedihan Fachrin dan Doni tentu telah dialami oleh jutaan jebolan sekolah menengah atas negeri ini. Hal ini bukanlah fiksi (sesuatu yang dibuat-buat) melainkan musibah besar yang menimpa mayoritas pelajar di pelosok Nusantara ini. Akan tetapi musibah tahunan ini belum diobati oleh para pemimpin bangsa ini.

Hal ini seharusnya menjadi pelajaran berharga kepada pelajar SMA yang akan menerima pengumuman hasil kelulusan pertengahan bulan Juni ini. Lulus atau tidak lulus merupakan dua opsi yang tidak bisa dihindari. Lebih dari itu, jika jutaan alumnus telah kebingungan membawa ijazahnya kemana maka, semestinya ekspresi corat-coret seragam sekolah dengan spidol, cat pilox maupun pewarna lain disertai dengan konvoi dijalan raya tidak ada la
gi di tahun ini.

Ekspresi corat-coret barangkali hanyalah kebahagiaan sesaat, paling lama dirasakan dalam waktu sehari selebihnya adalah keprihatinan yang mendalam.

Menjadi pekerjaan rumah bagi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mestinya jauh-jauh hari memikirkan masa depan anak didiknya. Para pelajar yang tidak bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi tidaklah sebanding dengan mereka yang mampu sekolah hanya sampai dibangku sekolah menengah atas. Alasannya, tentu berkaitan mahalnya biaya pendidikan.

Jauh-jauh hari sekolah kudu memberikan ketrampilan yang memadai. Bukan hanya sekadar pelatihan akan tetapi pelatihan, ketrampilan plus penempatan kerja. Value oriented (orientasi kepada nilai) memang tidak bisa dipungkiri lagi, lebih dari itu sekolah semestinya lebih memperhatikan masa depan mereka setelah lulus nantinya.

Begitu pula dengan birokrasi pemerintah yang terkait dengan pendidikan. Bagi penulis, menaikkan nilai standar kelulusan hanyalah sesuatu yang sia-sia. Toh, nyatanya jutaan nilai-nilai tersebut kini nasibnya hanya mangkak didalam almari. Solusinya, pemerintah seharusnya memberikan lapangan pekerjaan bagi lulusan SMA daripada mereka hanya dinobatkan sebagai pengangguran terdidik.

Atau, barangkali ketiga calon yang telah dinobatkan menjadi capres-cawapres pada pilpres Juli mendatang ada yang peduli dengan nasib mereka. Kalau memang ada tidak ada salahnya jika kita mencontrengnya. Tentu, bukan janji politis belaka melainkan janji tersebut diwujudkan menjadi nyata setelah mereka memimpin negeri ini nantinya.

Pertengahan Juni ini kita akan menyaksikan (lagi) jutaan calon pengangguran terdidik yang akan menghiasi pesona negeri ini. Alangkah afdolnya, jika tahun ini tidak ada lagi aksi corat-coret dan konvoi dijalan raya, pihak sekolah lebih mantap memberikan mereka ketrampilan dan siapapun pengganti pemimpin negeri ini, mereka sanggup menyelamatkan mereka (calon pengangguran terdidik) dari nestapa pendidikan ini. Semoga! (Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »