Ngrumat (Kembali) Pondasi Umat

Salah satu bangunan masjid kuna. (Dok. republika.co.id)

SAYA tertegun sejenak ketika menyaksikan sebuah masjid sedang direnovasi. Tempat beribadat orang muslim tersebut direnovasi bukan karena mendirikan bangunan baru akan tetapi, memang disengaja direhab karena sempitnya bangunan menampung jumlah jamaah shalat Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) maupun shalat Jumat. Selain memperlebar luas bangunan, arsitekturnya pun dirombak total ala timur tengah agar kelihatan mentereng.

Barangkali rehab tersebut ditengarahi letak Baitullah (sebutan masjid) yang berada di jalan raya petigaan kecamatan sehingga setelah rampung nanti bangunan tersebut setidaknya ikut memperindah tata letak salah kecamatan yang ada di kota Ukir ini.

Selain masjid yang masih dalam tahap renovasi tersebut, dua masjid megah juga telah berdiri megah di dua desa tak jauh dari tempat tinggal saya. Hal itulah yang membuat penulis merasa keheranan. Sebab saat ini banyak masyarakat hanya menginginkan bangunan fisik saja, tanpa memedulikan kekokohan pondasi umat.

Tidak ada salahnya memang menjadikan megah sebuah bangunan masjid. Hal ini dilakukan untuk memikat daya tarik agar umat betah dan berlama-lama dalam beribadat. Akan tetapi, bagi penulis yang terjadi malah sebaliknya, bangunan yang usai direhab dan telah menelan biaya miliaran rupiah itu malah menjadi hanya pandangan mata sejenak ketika melewati bangunan tersebut dan bukan ramai dikunjungi jamaah dalam setiap harinya.

Buktinya, dalam sepekan masjid menjadi ramai pada hari Jum’at. Tentunya, ketika kaum muslim menunaikan shalat Jum’at. Selain itu, saat shalat maktubah (lima waktu) kondisi berubah drastis, paling banter 2-3 shaf (barisan shalat). 

Rapuhnya Pondasi Umat
Pondasi umat Islam saat ini sudah diambang kebejatan dan mengalami kerapuhan. Renovasi masjid barangkali perlu ditunda sejenak guna mengembalikan pondasi umat menuju jalan yang benar. Berbicara keruntuhan umat, kita bisa berkaca pada pesta demokrasi nomor wahid negeri ini, uang merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Money (uang) ternyata memang sanggup menjadikan calon legislatif jadi atau tidak. 

Hal ini tentunya bias dikatakan kondisi kerohanian umat benar-benar mengalami krisis. Tak hanya itu, generasi muda sebagai penerus bangsa telah terjebak kepada freesex. Sex bebas dulunya hanya bisa ditemukan dikota-kota besar. Saat ini perkara bejat itu telah merembet hingga pelosok desa. Alih-alih peramal juga telah diyakini sebagai sebuah fatwa. Sehingga tak lagi percaya kiai yang kerap menyiarkan ajaran kitab suci.

Disaat kondisi umat sudah semakin bejat, maka perlu untuk disadarkan kembali. Hal ini tentu menjadi tugas pemuka agama. Mereka yang tahu agama harus lebih progresif dalam menyuarakan perkara yang berhubungan dengan kondisi kekinian. Perlu kiranya ada revolusi dalam pemberian taushiyah (ceramah). Ceramah monoton tentu akan membuat anak muda menjauh dari koridor-koridor agama. 

Masjid merupakan sentral kegiatan keagamaan. Ta’mir masjid seharusnya lebih kreatif mengadakan aktivitas kerohanian agar tidak terkesan monoton, selain memang fungsi untuk aktivitas shalat berjamaah. Tentu, hal itu dilakukan untuk ngrumat (merawat) kembali pondasi kerohanian umat. (Syaiful Mustaqim) 
Previous
Next Post »