Pelatihan jurnalistik di MA MH Mlonggo Jepara. (Dok. pribadi) |
PERS sekolah merupakan media penerbitan yang berupa majalah dinding (mading), buletin, majalah, tabloid dan koran yang dikelola oleh siswa sepenuhnya. Dikatakan pers (penerbitan) sebab berada dalam satu organisasi yakni: keredaksian.
Tingkatan paling atas susunan redaksi diduduki oleh pelindung dan pembimbing, atau pun bisa dengan istilah yang lain. Kepala sekolah menempati posisi pelindung, sedangkan pembimbing diisi oleh pembina yang bertugas membimbing dan mengarahkan arah pers sekolah akan melangkah.
Strata dibawahnya dipenuhi oleh stuktur keredaksian terdiri dari siswa dan siswi; pemimpin redaksi, sekretaris redaksi, bendahara, reporter, lay outer hingga distributor. Mudahnya, susunan redaksi adalah mereka yang tergabung dalam ekstrakulikuler jurnalistik.
Mendirikan penerbitan di lembaga pendidikan, bukanlah perkara yang susah artinya sangat mudah. Entah keberadaan penerbitan itu memang sudah ditopang dengan SDM yang memadai; pembina Jurnalistik memahami seluk beluk jurnalistik (tulis-menulis) atau adanya pers sekolah karena sebab keterpaksaan; sekolah lain sudah mengelola, jadi ada rasa malu kepada almamater lain.
Hanya dengan segelintir siswa dan seorang pembimbing, selanjutnya melampaui beberapa proses kemudian jadilah pers sekolah; entah dalam mading, buletin, majalah, tablolid dan koran: itu semua terserah sekolah yang bersangkutan. Mudah bukan?
Namun pada fase berikutnya, saking mudahnya mendirikan pers sekolah, suatu saat akan terganjal problem eksistensi. Eksistensi (menjaga ke-istiqamah-an) penerbitan merupakan perkara yang maha susah daripada memulai launching penerbitan perdana. Tentunya banyak hal yang perlu dijaga. Pertama, regenerasi keredaksian. Hal ini bisa ditempuh dengan jalur perekrutan anggota melalui workshop jurnalistik. Tujuannya anggota redaksi yang naik kelas ke jenjang berikutnya, bisa digantikan oleh adik kelas.
Kedua, istiqamah dalam penerbitan. Artinya, jika sekolah menerbitkan majalah setahun dua kali, maka apapun yang terjadi dalam waktu setahun dua terbitan tersebut harus direalisasikan. Afdolnya lagi, apabila anggota redaksi tidak hanya jago kandang; menulis di penerbitannya an-sich, akan tetapi juga merambah ke media luar: semisal Suara Merdeka, Wawasan, Kompas dan sebagainya.
Ketiga, dukungan penuh dari sekolah. Mudahnya dukungan dari sekolah berupa pendanaan yang memadai. Jika menginginkan penerbitan sekolah senantiasa eksis, maka kucuran dana dari almamater memang sangat dibutuhkan.
Keempat, Sumber Daya Manusia (SDM) Pembimbing. Meski tidak ada keterkaitan dengan eksistensi penerbitan, akan tetapi SDM pembimbing sangat berpengaruh. Pengaruhnya terhadap paradigma siswa yang berkecimpung didalam, jika pembimbing hanya asal-asalan. Jujur saja, meski ada namun tidak banyak guru bahasa dan sastra Indonesia yang paham seluk belum jurnalistik. Maka, solusinya sekolah bisa meminta bantuan kepada mantan pegiat pers kampus, praktisi pers, wartawan, atau pun mereka yang memang sudah menguasai jurnalistik.
Kata kunci menyoal eksistensi pers (penerbitan) sekolah memang harus dipertanyakan. Hal ini dilakukan dalam rangka mencetak kader jurnalis handal dan bukan sekadar asal-asalan. Jika, syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, niscaya jebolan pers sekolah adalah jurnalis handal dan profesional. Semoga! (Syaiful Mustaqim)
ConversionConversion EmoticonEmoticon