
Oleh Syaiful Mustaqim
PERHELATAN pesta demokrasi negeri ini akan segera dilaksanakan pada 2009 mendatang. Sebanyak 34 partai politik telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Juli lalu dan partai-partai tersebut layak menjadi peserta pemilu 2009 (Media Indonesia, 08/07/2008).
Kini, tahapan pemilu yang akan digelar beberapa bulan lagi telah memasuki proses penjaringan calon legislatif (caleg). Maka, tak ayal jika pada tahapan itu pun menjadi magnet bagi mantan aktivis mahasiswa. Mengapa tidak? Para mantan aktivis gerakan sosial ini seolah terbawa angin segar dan terbuai nafsu kekuasaan yang menjanjikan.
Sejumlah nama mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 misalnya telah resmi mendaftar menjadi caleg. Sebut saja mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko, Faisol Reza, Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa (www.indrapiliang.com).
Menengok sejarah 1998, para aktivis mahasiswa itu masih berada di jalan, berjas almamater, memakai ikat kepala, dan membawa bendera elemen mahasiswa untuk mendongkrak rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto.
Namun, kini sepuluh tahun kemudian sebagian dari aktivis mahasiswa itu mulai berpikir untuk mengalihkan arah perjuangan. Mereka pun akhirnya bergabung dalam partai politik peserta Pemilu 2009 dan menyalonkan diri sebagai caleg. Seolah-olah agenda reformasi yang tak kunjung usai menjadi pijakan mereka untuk terjun langsung ke parlemen.
Jika ditelisik lebih dalam, bukankah dalih para mantan aktivis hijrah ke dalam partai politik dengan tujuan kepentingan politik? Ada juga alasan mendasar tentunya dengan terjun ke dunia politik di depan mereka telah menjanjikan sumber daya ekonomi yang melimpah dan sumber daya politik yang besar.
Sebenarnya niat para mantan aktivis itu tidak serta merta bisa disalahkan begitu saja sebab itu merupakan bagian hak asasi mereka. Namun ada sebuah keprihatinan bagi kalangan aktivis “minoritas” yang menafsirkan bahwa kondisi politik nasional terkini telah mengalami pergeseran dan senantiasa terjangkit virus money politic.
Kini, jabatan berupa kursi kepemimpinan memang sedang asyik diperebutkan lewat pemilu yang digelar tahun mendatang, sehingga yang terjadi jabatan bukan lagi menjadi amanah untuk membela kepentingan rakyat namun sebaliknya jabatan bisa saja diartikan untuk menyengsarakan rakyat. Apa sebab? Konon janjinya berjuang atas nama rakyat tetapi nyatanya jabatan dijadikan alat untuk membahagiakan keluarga, kelompok dan kepentingan partainya saja.
Wong cilik hanyalah dijadikan slogan saat kampanye berlangsung. Parahnya, rakyat kecil hanya dijadikan alat politis untuk meraih suara dalam pemilu. Sehingga yang terjadi para elit politik dari mantan aktivis itu juga bertindak semena-mena terlibat korupsi, tidak memihak rakyat, dan lain sebagainya.
Boleh dikata, mereka yang selama ini telah berjasa menumbangkan rezim yang berkuasa ternyata kini telah mengingkari nurani yang dulunya selalu digembor-gemborkan. Ironis bukan?
Kegelisahan itu terlihat saat hijrah ke jurang politik praktis. Bisa saja sebelum mereka terjun ke lembah politik praktis akan siap memperjuangkan kepentingan rakyat, namun, ketika telah duduk di kursi empuk barangkali mereka akan lupa dengan janji-janji mereka.
Sekali lagi, apapun alasan dan juga dalihnya sah-sah saja, para mantan aktivis itu menjerumuskan diri dalam politik praktis. Sebab, itu merupakan hak politik bagi warga negara Indonesia. Keputusan mereka terjun ke ranah politik dinilai penting bagi kaderisasi kepemimpinan negeri ini.
Dalam sistem politik yang serba terbuka saat ini, perbaikan peri kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya cukup dilakukan dengan berdemonstrasi ataupun lewat kritik. Tetapi dibutuhkan sejumlah orang berkualitas yang nantinya akan memperbaiki nasib republik ini.
Disisi lain, bergabungnya para aktivis dalam daftar caleg juga menguntungkan parpol pengusungnya. Para aktivis itu dapat menutup sejumlah aib parpol di masa lalu. Bahkan, parpol itu dapat dinilai reformis sebab menjanjikan perubahan.
Citra itu tentu dibutuhkan untuk meraih perolehan suara di Pemilu 2009 mendatang. Sehingga, mantan aktivis juga mempunyai beban lebih karena memiliki tanggung jawab sejarah terhadap apa yang telah mereka pernah perjuangkan.
Nah, ibarat nasi telah menjadi bubur, keterlibatan mantan aktivis terjerumus dalam politik praktis tidak dapat dielakkan lagi. Kita hanya bisa berharap mereka kelak tetap berjuang memperjuangkan nasib rakyat kecil.
ConversionConversion EmoticonEmoticon