Ratu adil dalam perspektif ramalan Jayabaya

Opini, Wawasan, 08 Mei 2008

Oleh Syaiful Mustaqim
Pemerhati budaya, pegiat Smart Institute, tinggal di Kota Ukir Jepara

RAMALAN Jayabaya terbukti ampuh, terbukti kakuratannya di beberapa momentum yang terjadi dibumi pertiwi ini, hingga kini. Saat bangsa ini dilanda ontran-ontran (huru-hara), ramalan Jayabaya pun senantiasa menjadi referensi oleh banyak orang.

Maka, tak heran jika mantan tokohtokoh kenegaraan kita semisal Muhammad Husni Thamrin, Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto pernah menggunakan ramalan Jayabaya dalam setiap pidato kenegaraannya.

Juli 1934 silam, di hadapan sidang Volksraad (sebutan DPR masa penjajahan Belanda), MH Thamrin mengutip dawuh Jayabaya, ’’Tanjung putih sirna, muktinya orang Jawa.” Menurut Thamrin kata-kata tersebut merupakan sanepan (ungkapan tak langsung dan penuh makna). Artinya, kepergian bangsa Belanda dan sudah saatnya Indonesia merdeka.

Dalam kesempatan yang sama, MH Thamrin melanjutkan pidato kenegaraannya, ’’Jika pula Jawa tinggal selebar daun kelor, kelak akan datang jago kate wiring kuning dedege cebol kepalang.

Thamrin menjelaskan balatentara Jepang yang menjajah pulau Jawa hanya seumur jagung. Selain MH Thamrin, Bung Karno pun demikian. Setiap kali pidatonya, presiden pertama RI ini senantiasa mengutip petuah Jayabaya di depan Volksraad.

Dalam sebuah pidatonya yang bertajuk Indonesia Menggugat, Bung Karno berkata, ’’Haraplah dipikirkan, tuan-tuan, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu datangnya Ratu Adil? Apakah sebabnya Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain dan tak bukan ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habishabisnya menunggu atau mengharapharap datangnya pertolongan.” (D.Soesetro:2003:29)

Sebenarnya sang proklamator ini memang menaruh perhatian besar pada Jayabaya. Bukan hanya ramalannya, namun pada patilasan (bekas kerajaan) Prabu Jayabaya di Panjalu, Kediri, Jawa Timur.

Sebelum proklamasi Republik Indonesia, setidaknya sudah tiga kali Bung Karno mengunjungi patilasan itu. Bung Karno rawuh ke patilasan yang terletak di desa Menang, Kediri dengan tujuan untuk nyuwun wahyune kraton (memohon wahyu kraton).

Bung Karno pun sempat berpesan kepada Lurah Menang masa itu, Surohardjo agar memelihara warisan Prabu Jayabaya. ’’Rumaten sing apik, iki perlu banget,” ucap Bung Karno. Jika di Indonesia-kan (rawatlah dengan baik karena penting sekali).

Di kalangan masyarakat, ramalan Jayabaya memang tumbuh subur. Sehingga, ramalan itu dipercaya bukan hanya masyarakat agraris-tradisional, akan tetapi mereka pengikut modernisme. Lebih-lebih saat terjadinya krisis, chaos (kekacauan), dan ketidakpastian yang sulit dijelaskan dengan rasionalitas.

Keampuhan ramalan itu pun sudah berulang kali terbukti. Zaman revolusi fisik, di Yogyakarta dan sekitarnya (1945-1949), ramalan Jayabaya kian beredar luas bahwa Belanda akan hancur apabila sudah masuk ke dalam dulang emas dan jala sutera.

Terbukti, Agresi Militer II 19 Desember 1948, Bangsa Belanda memang menguasai Yogyakarta dan Solo (Jala Sutera) kemudian menyerbu Kedu, Magelang, dan Banyumas (Dulangmas). Selang beberapa bulan, nyatanya Belanda pun harus angkat kaki dari bumi pertiwi dan mengakui kedaulatan Republik ini.

Mengenal Ratu Adil
Nama lengkap Prabu Jayabaya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Sri Warmeswara Madhusudanawartanindita Parakrama Digyottunggadewa. Jayabaya adalah seorang raja yang memerintah kerajaan Kediri (1130-1160).

Dia adalah seorang keturunan Prabu Airlangga, penguasa tertinggi kerajaan Kahuripan (1019-1042). Airlangga membagi kerajaannya kepada dua orang putranya, Kerajaan Jenggala (Singosari) dengan Ibu kota Kahuripan dan Kerajaan Panjalu (Kediri) dengan ibu kotanya Daha.

Pada masa Jayabaya, hidup dua pujangga terkenal, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Mpu Sedah yang menggubah kitab Bharatayuddha dalam bahasa Jawa kuno (1157), diteruskan oleh Mpu Panuluh dan lahirlah kitabkitab terkenal seperti Hariwangsa serta Gatotkacacraya.

Serat Jayabaya memang sangat bernilai, khususnya sebagai analisis sosial. Ongokham (1977) menuturkan, Serat Jayabaya berisi klasifikasi masyarakat terhadap dua zaman, yakni zaman edan manakala mereka hidup, dan zaman emas yang benar-benar diharapkan. Selain itu, juga mencakup dua dimensi waktu yaitu masa kini dan masa depan.

Apakah Sekadar Mitos?
Dalam perspektif nalar ilmiah, ramalan Jayabaya tidak lebih hanya sekadar mitos. Ramalan Jayabaya diyakini tidak pernah ada, sebab tidak ada peninggalan manuskripnya yang asli, namun seolah-olah ada. Banyak yang percaya bahwa ramalan tersebut benar-benar terjadi, ada juga yang menyatakan itu hanya omong kosong.

Para ahli, pada umumnya meragukan keasliannya. Pasalnya, belum ditemukannya sebuah kitab otentik (asli) yang memuat ramalan Jayabaya. Apalagi naskah asli yang berupa tulisan Sang Prabu.

HA Van Dien dalam bukunya yang berjudul De Javanese Geestenwereld De Geschiedenis der Godsdiensten op Java, dalam bukunya memang berisi tulisan tentang ramalan Jayabaya, namun tidak dijelaskan asal-muasal ramalan tersebut.

Pakar Epigrafi (penafsir tulisan kuno) Universitas Gadjah Mada, Dr Soekanto Kartoatmodjo, menuturkan bahwa dia tidak menemukan bukti ilmiah yang menjelaskan serat itu adalah karya asli Jayabaya.

Hal senada juga diperkuat oleh G Zorab (ahli parapsikologi asal Amsterdam, Belanda). Sementara itu, buktibukti yang ada menunjukkan, serat Jayabaya muncul pada medio abad ke-18 dan semakin populer abad ke-19. (Ongokham, 1977)

Berbeda dengan Prof Djokosetono, otentik atau tidaknya ramalan itu bukan sebuah problem. Namun yang terpenting dan menakjubkan, ramalan Jayabaya telah berkembang menjadi mitos. Dan mitos itu oleh masyarakat dipegang teguh sebagai referensi untuk mencari sebuah jawaban.

Nampaknya ramalan Jayabaya sambung-menyambung dengan ramalan R Ng Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha (1862) yang berisi tentang ramalan zaman edan. Sebelum menuliskannya, Ronggowarsito juga telah menciptakan karya Serat Jangka Jayabaya Sabdapalon Nayagenggong (1842) yang mengisyaratkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Djoko Quartantyo juga mencatat, ramalan Jayabaya plastisitas (memiliki keluwesan) sehingga cocok jika diterapkan di segala zaman. Awal mulanya, ramalan Jayabaya hanya dianggap membicarakan pelbagai malapetaka yang kemudian diakhiri dengan kehadiran Ratu Adil (Herucokro).

Setidaknya ramalan Jayabaya memang mudah ditafsirkan sesuai dengan konteks zaman. Misalnya, Sebagian pulau Jawa akan tenggelam di bawah laut dan kembali ke bentuk semula, termasuk pulau Madura menjadi sembilan pulau.

Jika ditafsirkan runtuhnya Orde Baru dan diberlakukannya kembali Pancasila dan UUD 1945. Pulau Madura akan menjadi sembilan pulau. Kekuatan Politik Orba (ABRI-Birokrat, dan parpol) akan berganti menjadi puluhan partai baru yang kelak berkoalisi menjadi sembilan kekuatan besar.

Nah, apa pun versi, tafsir, dan kontroversinya semua itu tak akan mengubah keyakinan orang Jawa yang memang percaya dengan ramalan Jayabaya. Sehingga, orang-orang yang menanti-nantikan kemunculannya seperti sosok ratu adil yang merepresentasikan harapan rakyat untuk memperbaiki nasib negeri ini. (*)
Previous
Next Post »