Berangkat dari Mitos Perlawanan

Perempuan, Suara Merdeka, 21 Mei 2008

Oleh SYAIFUL MUSTAQIM
pemerhati perempuan, pegiat Smart Institute, tinggal di Jepara

KESETARAAN gender bisa digali dari warisan kearifan lokal. Kearifan itu bisa berbentuk cerita lisan, mitos, bahkan sejarah faktual. Penggalian itu sangat bermanfaat untuk memunculkan semangat untuk mengkritisi fenomena yang terjadi pada masa kini.

Contoh konkret adalah perlawanan perempuan di Jepara, Jateng. Pembangunan PLTN di Jepara dikhawatirkan membawa dampak terhadap perikehidupan masyarakat. Mereka melakukan perlawanan dengan warisan semangat dari para perempuan masa lalu. Mereka adalah Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini.

Eni Susanti (30) beberapa waktu yang lalu menyiapkan bekal untuk mengikuti aksi. Selain Eni, ada juga Ngatipah (40) dan Marsulin (30). Mereka tidaklah sendirian namun, bersama sekitar 4.000-an warga Balong, kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara.

Warga Balong melakukan aksi dengan berjalan kaki sepanjang 30 kilometer menuju Kabupaten Jepara. Maka, tak heran jika ada sebagian dari mereka yang menggendong anak-anaknya seraya membawa obor.

Aksi yang mereka lakukan adalah rangkaian aksi sepanjang tahun 2007 untuk menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria.

Desa Balong merupakan ujung tapak terdekat dari Lemah Abang. Menurut rencana akan menjadi lokasi pembangunan PLTN. Konon, pembangunan PLTN itu ditaksir hingga Rp 70 triliun. Pemerintah juga akan membangun empat reaktor nuklir. Masing-masing menghasilkan daya listrik 1.000 megawatt.

PLTN Unit I direncanakan mulai dibangun tahun 2010, menyusul Unit II tahun 2011/2012. Tahun 2016/2017 kedua unit itu diharapkan telah beroprerasi. Disusul pembangunan Unit III dan IV antara tahun 2018-2019. Lebih ambisius lagi, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) akan mengoperasikan enam unit PLTN pada tahun 2030 dan delapan unit pada tahun 2040.

Perjalanan panjang menuju Jepara oleh warga Balong itu diikuti oleh seluruh penduduk, termasuk juga anak-anak dan tidak bagi para orang tua dan warga yang sedang sakit.

Tepatnya 1 September 2007 lalu mereka berhadapan langsung dengan Bupati Jepara Hendro Martojo dan Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman di Gedung DPRD Jepara. Aktivis Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Jepara Hindun Anisah menyatakan keberangkatan mereka bukan tanpa paksaan. Ini kesadaran politik yang kuat.

Bahkan, mereka siap jika akan mengulangi aksi serupa. Marsulin (30), warga Balong menambahkan, dirinya dan warga secara tegas menolak PLTN sebab dampaknya sangat berbahaya dan bersifat lintas generasi akibat kemungkinan terjadinya kebocoran radiasi.

Memang, berdasarkan kajian 20 tahun, peristiwa Chernobyl di Ukraina, Rusia, kebocoran PLTN membawa dampak fatal dan genetik yang sangat serius. Ujung-ujungnya pada kecacatan akut dan kematian.

Resistensi Perempuan
Perlawanan perempuan terhadap bentuk aktivitas atas nama kemajuan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup, termasuk eksplorasi sumber daya alam, terjadi selama bertahun-tahun. Secara historis pun Jepara memang menyimpan semangat perlawanan yang dipelopori oleh para perempuan. Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini adalah tiga perempuan pada zaman berbeda yang melawan dengan cara berbeda dalam menghadapi kekuatan yang menindas.

Ratu Shima misalnya. Dia memerintah dengan sangat baik, keras, dan adil sehingga rakyatnya hidup dengan sejahtera. Ratu Shima menerapkan hukum yang adil termasuk terhadap putranya yang ketahuan menginjak pundi-pundi emas. Akhirnya, putra mahkota dijatuhi hukuman potong jari kaki walaupun para menteri telah memohon ampunan atas kesalahannya.

Ratu Kalinyamat pun demikian. Dia merupakan tokoh yang antikolonial. Ratu Kalinyamat yang mendapat julukan ''Rainha de Jepara Senora Pade Rosa de Rica'' (Raja Jepara; seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya) pernah dua kali membantu Kerajaan Malaka untuk menyerang Portugis.

Meskipun belum mampu mengusir Portugis, pengaruhnya terhadap konstelasi politik dan perdagangan cukup besar. Portugis tak berani lagi menguasai Pulau Jawa. (Suara Merdeka, 21/04 /08).

RA Kartini berjuang menuntut persamaan derajat antara pria dan wanita yang tidak hanya mendobrak kultur feodalis dan paternalitik, tetapi mengilhami perempuan-perempuan dalam melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kartini juga memberontak atas dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam sebuah tradisi.

Nah, spirit perlawanan Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan R.A Kartini perlu kita warisi. Setidaknya resistensi atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi apa yang dilakukan Eni Susanti dan kawan-kawan merupakan perlawanan yang harus ditegakkan. Ratu Shima, Kalinyamat, dan Kartini tidaklah sedih, tapi bangga dengan apa yang mereka lakukan. []
Previous
Next Post »