Ruang Baca untuk Warga Kalinyamatan

Wacana Lokal, Suara Merdeka, Senin, 14 April 2008

Oleh Syaiful Mustaqim
pegiat Smart Institute, tinggal di Jepara

KULTUR membaca kerap dipakai sebagai parameter tingkat pendidikan dan kemajuan bangsa. Di negara maju, kita bisa melihat banyak orang yang sedang asyik membaca di taman-taman, halte, stasiun, dan bandara. Adagium Inggris menyatakan, ''We first make our habits, then our habits make us''.

Sebuah watak akan muncul ketika kita membentuk kebiasaan terlebih dulu. Artinya, bila kita menginginkan bangsa kita maju, maka kita wajib meniru bangsa lain. Salah satunya dengan membaca.

Berdasarkan hasil riset Vincent Greanery dalam Literacy Standards in Indonesia, kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia paling rendah dibandingkan dengan anak-anak di Asia Tenggara.

Bagaimana kalau kita menyempitkan konteksnya pada Kabupaten Jepara? Atau level kecamatan saja, misal Kalinyamatan? Kecamatan yang berbatasan dengan Mayong, Welahan, dan Pecangaan ini memiliki banyak fasilitas. Di bidang pendidikan, Kalinyamatan memiliki beberapa lembaga pendidikan formal dan nonformal, mulai dari TK hingga SMA, di samping sejumlah pondok pesantren.

Kerajinan pun tak ketinggalan. Ada monel di Kriyan, kemasan di Margoyoso, pande besi di Purwogondo, konveksi di Sendang, rokok di Robayan, dan sebagainya. Tak hanya itu, di pusat kecamatan terdapat pasar tradisional, bahkan pasar modern (minimarket dan pujasera) di depan pasar yang buka setiap malam.

Anda juga bisa menjumpai warnet, counter HP, berbagai bimbingan belajar (bimbel), dan sebagainya. Tapi adakah ruang baca bagi warga Kalinyamatan. Rasanya belum lengkap kalau mempunyai be-ragam fasilitas, tetapi belum memiliki ruang baca. Masyarakat Kalinyamatan harus membudayakan demen maca.

Koran Dinding
Menarik sekali artikel yang ditulis Budi Wah-yono di Seputar Semarang (edisi 24-30 Juli 2007) yang bertajuk Media Gratis Kaum Marjinal. Budi kagum dengan budaya baca warga Solo. Berdasarkan pengalamannya, pada tahun 1980-an, sebelum pulang ke Wonogiri, dia selalu menyempatkan diri mampir ke kios koran.

Di tempat itu, pengajar SMK di Semarang ini sesekali bertemu dengan penyair Bambang A Er Te dan Wiji Tukul Wijaya. Rupanya tak hanya hanya kalangan terdidik saja, puluhan tukang becak juga ikut nimbrung membaca bacaan kesayangannya.

Tak salah jika mereka hafal beberapa kolumnis ternama seperti YB Mangunwijaya, Manai Sopiaan, Sardono W Kusumo, dan sebagainya. Lebih dari itu, jika ada tulisan menarik, mereka tak segan-segan membelinya untuk bahan diskusi atau sekadar dibaca ulang di rumah.

Selain Solo, Budi juga menemukan hal serupa di Yogyakarta. Di depan kelurahan dekat kos-kosannya, para tukang becak dan penjual jamu gendong pun ikut melongokkan wajahnya melihat judul-judul berita koran yang dipajang. Interaksi warga dan spirit mencari berita aktual begitu kental, serta menjadi pemandangan merata di setiap sudut kota.

Berbeda dengan Semarang. Menurut budi, hanya ada beberapa koran dinding di Kota ATLAS, antara lain di Jl Kaligawe Km 5 dan Jl Pandanaran 30 (depan kantor Suara Merdeka, kawasan Lamper (depan kantor Kedaulatan Rakyat), dan Jl Pandanaran II/10 (depan kantor Wawasan). Semarang, kata Budi, ketinggalan jauh dari Solo dan Yogyakarta.

Bagaimana dengan Kalinyamatan? Nampaknya Kalinyamatan pun butuh ruang baca berupa koran dinding yang mencerdaskan. Fasilitas ini bisa dibangun di pertigaan Purwogondo, yang menjadi pusat aktivitas masyarakat.

Lokasinya dapat dijangkau dari berbagai penjuru dan dari latar belakang yang berbeda, Mulai dari pelajar, mahasiswa, buruh pabrik, tukang ojek, tukang becak hingga profesi lain. Di pertigaan itu, mereka biasanya menanti angkot datang.

Di pagi atau sore hari, sebelum memulai aktivitas maupun seusai merampungkan aktivitasnya, mereka bisa berdiri membaca rubrikrasi-rubrikasi yang disukai. Mereka bisa membaca berita aktual yang diinginkannya. Ah, pemandangan di pertigaan itu pun akan berubah drastis. Terlihat masyarakat yang gemar membaca.

Perlu Kerja Sama
Untuk merealisasi ruang baca, bisa dilakukan kerja sama antara pihak birokrat dan masyarakat setempat. Pertama, pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten bertanggung jawab dalam hal pendanaan. Agar koran dinding dapat kontinyu, jelas diperlukan dana. Kedua, warga sekitar bertanggung jawab mengganti atau mengelola lembaran-lembaran koran yang akan dipasang.

Pemasangan koran dinding tidak akan mengurangi pemasukan para penjual/loper koran. Namun di tempat itu, barangkali, hanya merupakan tempat nimbrung para pecandu baca yang selama ini sulit menemukan bacaan gratis. Tak salah jika kelak akan muncul komunitas-komunitas diskusi kecil.

Ya, ruang baca di Kalinyamatan benar-benar dinanti warga. Pihak yang kompeten, yang memahami lahan bacaan, seharusnya bergegas mengakomodasi gairah membaca warga ini. Begitu juga birokrasi, haruslah mengetahui keinginan warganya.

Pelajar, mahasiswa, tukang pabrik, buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan sebagainya merasa lebih praktis jika membaca koran dinding gratis, tanpa membayar serupiah pun.

Nantinya, jika ada tamu dari luar negeri yang sekadar mampir di Kalinyamatan, kemudian ke Kota Jepara, tidak hanya terpikat dengan pelbagai macam kerajinan yang go international. Mereka juga dapat melongokkan perhatian saat melihat warga asyik membaca dan diskusi di ruang baca yang disediakan. []
Previous
Next Post »