Jayabaya dalam Tafsir Kontemporer

Forum, Kompas, 5 Maret 2008

Oleh SYAIFUL MUSTAQIM
Aktif di Smart Institute Jepara, Jawa Tengah

Dalam khazanah kultur (budaya) Jawa dan Dunia, Jayabaya konon telah menjadi referensi baku untuk memandu, mengenal, dan menghayati pancaroba (perubahan) zaman. Pujangga Yosodipuro I dan Ronggowarsito yang hidup beberapa abad silam pasca-Raja Kediri, Jawa Timur, ini entah sengaja ataupun tidak cukup banyak telah menggunakan tetenger dari sang maharaja.

Jayabaya tidak sama dengan Naisbitt (Megatrend 2000) yang populer dengan pandangan visionernya tentang masa depan science dan peradaban manusia. Bukan pula Alvin Toffler (The Third Wave) dengan kejutan gelombang perubahan zamannya, atau, Keinchi Ohmae (The Borderless World) yang meramal terjadinya ketergantungan global. Bahkan, Francis Fukuyama (The End of Ideology) tentang berakhirnya era perlombaan ideologi.

Prabu Joyoboyo (yang dikenal dengan sebutan Jayabaya) berseberangan dengan keempat futurolog tersebut yang mendasarkan visi masa depannya berdasarkan data-data empiris, akan tetapi harus diakui banyak kejadian dalam sejarah negeri ini terjadi secara samar, sarat sanepa (ungkapan penuh makna) justru telah diungkap oleh seorang raja yang hidup dari abad XII Masehi.

Dalam sejarahnya, Jayabaya adalah seorang raja yang menerintah kerajaan Kediri (1130-1160). Dia adalah seorang keturunan Prabu Airlangga, penguasa tertinggi kerajaan Kahuripan (1019-1042). Airlangga membagi kerajaannya kepada dua orang putranya, kerajaan Jenggala (Singosari) dengan ibukota Kahuripan dan kerajaan Panjalu (Kediri) dengan ibukota Daha.

Masa Jayabaya, hidup dua pujangga terkenal yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Mpu Sedah yang menggubah kitab Bharatayuddha dalam bahasa jawa kuno (1157), kemudian diteruskan oleh Mpu Panuluh dan lahirlah kitab-kitab terkenal seperti Hariwangsa dan Gatotkacacraya.

Pro Kontra
Banyak versi tentang ramalan Jayabaya. Ada yang percaya, bahwa ramalan tersebut memang karya raja besar Kediri yang dikenal sangat menghargai dan mencintai sastra. Sehingga, ia memerintahkan dua pujangganya, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, untuk menyadur dan menciptakan karya-karya sastra.

Bahkan karya tersebut kemudian dilestarikan dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ke kalangan rakyat melalui tembang-tembang atau kidung yang disampaikan dengan bahasa rakyat.

Menurut versi lain bahwa ramalan Jayabaya bukanlah karya sang maharaja melainkan karya orang lain, kemudian dianggap sebagai karya Jayabaya. Syahdan, Jayabaya pernah “berguru” kepada ulama terkemuka di Jazirah Arab, Syech Ali Samsu Zein. Ulama inilah yang membeberkan rahasia dunia, asal-usul manusia sampai peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi di masa mendatang dan berlanjut di akhir zaman. Apa pun versinya, yang jelas ramalan yang berupa karya tulis itu telah diterima, tersebar dari generasi ke generasi. Karya ini bukanlah tiba-tiba saja ada tetapi telah disimak menjadi bahan pertimbangan sejak zaman dahulu kala.

Ratusan kidung telah dilantunkan Jayabaya berabad-abad silam. Diantaranya: Akeh udah salah mangsa/ akeh prawan tuwa, akeh randha meteng/ akeh bayi tanpa bapa/ agama akeh sing nantang/ kemangsungsan akeh seng ilang/ omah suci padha dibenci, omah ala padha dipuja/ wanodya padha wani ing ngendi-endi//(Banyak hujan turun salah musim/ banyak perawan tua, banyak janda hamil/ banyak bayi tanpa ayah/ banyak orang menentang agama/ banyak orang kehilangan kemanusiaan/ rumah suci dibenci, rumah maksiat dipuja/ wanita tampil berani dimana-mana) (136).
Pancen wolak-waliking jaman/ amenangi jaman edan/ ora edan ora kumanan/ sing waras padha nggagas/ wong tani padha ditaleni/ wong dora padha ura-ura/ beja-bejane sing lali/ isih beja kang eling lan waspodo// (Sungguh zaman sedang gonjang-ganjing/ menyaksikan zaman gila/ tidak ikut gila tidak ikut bagian/ yang sehat olah pikir/ para petani dibelenggu/ para pembohong bersukaria/ berbahagialah orang yang lupa, tetapi masih lebih bahagia yang ingat dan waspada) (142).

“Wong dagang laris”
Wong dagang barang sangsaya laris/ bandhane ludes/ akeh wong mati kaliren gisining panganan/ akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara// (Orang dagang barangnya makin laris/ tapi hartanya makin habis/ banyak orang mati kelaparan di samping makanan/ banyak orang berharta namun hidupnya sengsara) (145).

Akeh wong janji ora ditepati/ akeh wong nlanggar sumpahe dewe/ manungsa padha seneng ngalap/ tan anindakake hukuming Allah/ barang jahat diangkat-angkat/ barang suci dibenci// (Banyak janji diingkari/ banyak orang melanggar sumpahnya sendiri/ manusia senang menipu/ tidak melaksanakan hukum Allah/ barang jahat dipuja-puja/ barang suci dibenci) (148).

Ramalan Jayabaya berupaya menafsirkan hakikat dan makna dalam konteks Indonesia masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Keterbatasan dalam menilai, menghayati dan keterkaitan zaman dapat dikatakan suatu kelemahan yang wajar meskipun seluruh ungkapan yang samar itu ditafsirkan berdasarkan peristiwa yang pernah dan sedang terjadi.

Sejarawan
Para sejarawan dan budayawan barangkali bisa mengeksplorasi lebih jauh untuk menggali dan memaparkan banyak ungkapan Jayabaya yang penuh dengan kiasan tersebut. Secara kompleks, ramalan beliau mencakup empat periode dalam sejarah Indonesia yaitu masa penjajahan, kemerdekaan, orde baru, dan yang akan datang.

Berulang kali diungkapkan perlunya kesediaan untuk tahan ujian, selalu ingat dan waspada terhadap situasi yang tidak menentu, hanya mengikuti petunjuk yang benar berdasarkan suara hati nurani dan sebagainya.

Dengan demikian, sejauh yang dapat diikuti dari seluruh intisari ramalan Jayabaya, tetap saja yang terpenting adalah proses menyikapi dan melewati zaman ketidakpastian (kalabendhu), penuh angkara murka (kalatidha) serta mengupayakan tatanan menuju zaman kejayaan dan kemakmuran (kalamukti).

Ya, ramalan Jayabaya dalam tafsir kekinian setidaknya dapat dijadikan referensi bagi negeri ini walaupun telah dilantunkan berabad-abad silam. (*)
Previous
Next Post »