Cerita Mahfud MD Diundang Gus Dur ke Istana

Pertemuan Gus Dur dengan Mahfud MD. (Foto: teronggosong.com)
Putaran masa bergeser begitu cepat. Proses pengukuhan sebagai guru besar sudah ditunggu-tunggu pihak kampus dan Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ia lalu memutuskan menuju menuju Australia agar dapat lebih fokus menyusun pidato ilmiah pengukuhannya sekaligus menambah referensi mengenai ilmu politik hukum. Ia berharap saat di negeri Kanguru bisa berproses tuntas. Akan tetapi baru dua bulan menyusun draf demi draf pidato ilmiah, mendadak dirinya dikejutkan informasi via telepon yang tidak dinyana dari seorang tokoh NU. 

“Apa kabar Pak Mahfud. Maaf, Bapak posisi di mana?” suara telepon menyapa telinga Mahfud. 

“Baik Pak. Saya sedang di Australia. Memangnya ada apa?” jawab Mahfud. 

“Oh ya. Wah gimana ya? Kalau bisa Bapak segera pulang. Soalnya Gus Dur menghendaki Bapak untuk menduduki posisi salah satu kabinet beliau.”

“Apa?” sontak Mahfud kaget. 

Setelah menerima telepon tersebut ia kembali disudutkan pada pilihan yang menyulitkan. Sebenarnya draf yang ia susun hampir selesai namun bagaimana pun juga ia tidak ingin pidato ilmiahnya tidak detil menyentuh permasalahan pokok. Beberapa spekulasi ia bayangkan satu per satu diiringi waktu yang terus memburu. Hingga ia putuskan untuk pulang ke tanah air. 

Sesampai di rumah, Mahfud kembali terbayang dengan spekulasi-spekulasi tiada berujung. Rasa gelisah mendera batinnya. Ia duduk terpaku di kursi tamu rumahnya. Yatie keluar dari dapur membawa secangkir teh dan penganan tradisional. 

“Ada apa Pak, kok kayaknya gelisah seperti itu?”

“Ndak papa, gimana anak-anak?”

“Semua pada sehat, kenapa, Bapak mengkhawatirkan anak-anak?”

“Ndak cuman nanya, kan sudah lama aku nggak ketemu, baru tadi pagi melihat wajah mereka, sekarang sudah pergi sekolah semua.” 

“Lha Sampeyan memikirkan apa?”

“Aku nggak tahu Bu kenapa era pemerintahan sekarang banyak orang punya penyakit kaget.”

“He he Bapak ini lucu, masa ada penyakit kaget?”

“Lha iya, masak Ibu ndak merasakan, kalau seluruh birokrasi pemerintahan diolak-alik, dibongkar-pasang dalam tempo yang begitu cepat. Ibu merasakan tho baru saja aku jadi staf ahli Menteri, sekarang malah terombang-ambing tidak pasti.” 

“Itulah kehebatan presiden kita, Gus Dur,” seloroh Yatie dengan nada senyum.

“Ya ini salah satu jenis penyakit pejabat di zaman Gus Dur. Kagetan, terus gelisah, karena kebijakan dan jabatan buat orang per orang cepat berubah,” komentar Mahfud dengan tersenyum masam. 

“Terus Bapak gimana, maksudku Bapak dikasih tanggung jawab apa sama pemerintahan Gus Dur?”

“Ya nggak tahulah benarnya gimana, di Australia kemarin aku ditelepon seseorang yang punya akses khusus dengan Gus Dur, katanya aku disuruh pulang cepat-cepat karena mau dijadikan Menteri. Sementara nanti tanggal 6 Agustus 2000 Pak Hasballah juga memberi kabar kalau Surat Pengangkatan jadi Deputi Menteri mau turun.”

“Terus bagaimana?” istrinya tidak tahu lagi harus bertanya apa. 

Mahfud hanya mengangkat tangan ke batas dada dan melebarkan bibir tanda ia pun tak tahu mau bilang apa. Biarlah mereka di pemerintahan ini seperti pop corn yang sedang dimasak, meloncat-loncat, beralih dari posisi ke posisi lain. 

Dalam waktu yang sempit ia kembali konsentrasi mempersiapkan naskah ilmiah untuk pidato pengukuhannya. Usia yang masih muda bagi Mahfud untuk meraih gelar Profesor. Derasnya takdir mengalir membuat Tuhan mengalirkan takdir itu hingga sampai titik pemberhentian gelar intelektualnya. 

Pidato pengukuhan pun berjalan dengan mulus. Dan gelar professor dari negara pun disandangnya. Ilmu politik hukum ia dedikasikan untuk anak-anak generasi bangsa selalu ia perjuangkan pada nilai-nilai nyata. 

Beberapa hari ia berkecimpung dengan kampus membuat bara idealisme menghentak. Ia kali ini hendak mengimplementasikan nilai-nilai politik hukum pada pemerintahan sebagai Deputi Menteri Urusan HAM di bidang Perundang-undangan. Namun surat pengangkatan yang dinanti tidak pernah ada beritanya walaupun tanggal 6 Agustus telah lewat.  Sekalipun demikian, Hasballah bahkan memberikan tugas-tugas Deputi Menteri untuk mempelajari mengenai tata perundangan yang berkaitan dengan HAM dan tidak menyinggung perihal de jure terhadap jabatannya. 

Cahayamu Tak Bisa Kutawar. 
Namun, 15 Agustus 2001 Mahfud mendapat telepon dari Johan Effendi yang saat itu menjabat Menteri Sekretariat Negara. Mahfud bertanya-tanya ada apa gerangan?

“ini Johan Effendi, Pak, Menteri Sekretariat Negara,”suara telepon dari seberang. 

“Oh iya Pak Johan, ada apa ya?

“Begini lho, Presiden mau ketemu Bapak.”

“Ohya, memang ada apa Pak?”

“Wah, tidak tahu…”

“Kapan?”

“Sabtu, Bapak ditunggu jam 08.00 di Istana.”

“InsyaAllah, siap Pak.”

Sabtu pagi buta ia segera terbang ke Jakarta untuk memenuhi janji pertemuan dengan Presiden di Istana Negara. Ia berkejaan dengan waktu agar bisa bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia Abdurrahman Wahid atau lebih sering dipanggil Gus Dur. Di dalam pesawat ia membayangkan wajah Gus Dur yang pernah ia temui 16 tahun silam saat ia jadi panitia seminar demokrasi di awal-awal ia jadi dosen UII. Ini kali kedua jika ia benar-benar bertemu dengan salah satu tokoh demokrasi Indonesia yang ia kagumi. 

Belum jam 8 ia sampai istana negara. Saat memasuki istana, beberapa pintu detektor tidak berfungsi dengan ketat, hanya petugas protokoler yang sigap namun penuh penghormatan. Istana Negara yang ia bayangkan tidaklah seangker zaman Orde Baru. Bahkan era pemerintahan ini, mirip istana pesantren sebab banyak sekali orang bersarung datang dan pergi silih berganti. 

Lama ia menunggu di salah satu sudut istana. Jam di tangan Mahfud sudah menunjukkan ke angka sepuluh. Akhirnya staf Sekretariat Negara datang menemui dirinya yang sudah mulai suntuk menunggu.

“Maaf Pak Mahfud. Bapak Presiden ke Jogja.”

“Ohya, saya ini datang dari Jogja, karena dijadwalkan bertemu beliau.”

“Maaf Pak Mahfud, saya hanya mendapat perintah untuk memberikan nomer ponsel pribadi beliau juga ponsel ajudan beliau.”

“Ya, terima kasih,” kata Mahfud. 

Batin Mahfud begitu kesal. Ia segera mencoba menelpon ponsel pribadi Presiden, begitu juga ponsel ajudannya. Namun tidak tersambung. Ia tak tahu harus bagaimana. Mahfud jadi teringat seorang aktivis PKB yang bernama Tari yang mempunyai akses dengan para petinggi PKB. Dari Tari inilah, Mahfud mendapat jadwal ketemu dengan Alwi Shihab. Dari pertemuan itu mereka berdua hanya bincang-bincang saja. Mereka berdua hanya membuat prediksi tentang apa yang dibahas pada pertemuan dengan Presiden itu. Alwi hanya mempunyai sinyal bahwa ia akan diberi tugas sebagai salah satu pengendali kabinet Gus Dur. Namun, Alwi Shihab tidak memberikan sinyal mengenai kapan pertemuan dengan Gus Dur. Ya, Gus Dur, sang Presiden itu. 

Sebuah janji yang tidak jelas siapa yang berjanji terlebih dahulu, entah presiden sendiri atau protokoler. Hatinya semakin suntuk tak karuan. Hah. Seorang Profesor saja susah ketemu presiden. 

Mahfud pun balik ke Jogja, ia hanya membatin buat apa berlama-lama di Jakarta kalau tidak jelas apa yang dikerjakan. Masak, orang Jogja hendak bertemu orang Jakarta, malah orang Jakarta pergi ke Jogja. Dari Tari, Mahfud baru mengetahui kalau Gus Dur ke Jogja punya acara bersama Sri Sultan dan Rektor UGM, Ichlasul Amal. 

“Ada acara apa ya?” tanyanya kepada Tari. 

“Ndak tahu ya Pak Mahfud, katanya mau nonton wayang di UGM,” jawab Tari. 

“Hah!” 

____________
Kisah disalin dari Novel Biografi Mahfud MD “Cahayamu Tak Bisa Kutawar” karya Aguk Irawan MN (Ar-Ruzz Media: 2014) dengan sub judul Gus Dur, Sang Presiden (hlm. 360-366). 
Previous
Next Post »