“Singgah” di Berbagai Pesantren Jawa

Kesempatan singgah di pesantren Al-Mahalli Wonokromo Pleret Bantul.
Saya merasa “rugi” karena belum pernah mondok di pesantren. Waktu masih duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA) saya hanya jadi santri “kalong” di dua pesantren. Pertama, di Pesantren Roudlotul Huda Desa Margoyoso Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara yang waktu itu diasuh KH Muchlisul Hadi (Pengurus MWCNU Kalinyamatan, Jepara) yang lokasi pondoknya di depan persis rumah orang tua saya.

Kedua, Pesantren Al-Ishlah. Lokasi pondok ini juga berada di kampong saya. Tetapi jarak menuju pesantren yang diasuh KH M. Qurtuby (Aktivis Partai Persatuan Pembangunan) ini berjarak 200 meter dari rumah. Sehingga untuk mengaji nyepeda (naik sepeda), saat itu.

Hidup bertahun-tahun di kampung religius membuat banyak pengetahuan agama yang saya peroleh. Baik dari lembaga formal maupun non formal. Sejak lulus dari Sekolah Dasar (SD) saya melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) lokasinya dekat dengan rumah. 

Lulus Tsanawiyah saya ingin melanjutkan sekolah ke luar daerah (kecamatan lain, red). Akhirnya saya memilih sekolah Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan. Dengan itu saya bisa menerima banyak materi keagamaan ditambah kuliah di IAIN Walisongo Semarang (sekarang UIN). 

Di bangku non formal Alhamdulillah saya bisa lulus Madrasah Diniyah (Madin) dan Madrasah Wustho. Juga mengikuti beragam kegiatan keagamaan dan sosial yang ada di kampung.   

Meski begitu adanya saya masih merasa “rugi” karena tidak pernah mondok. Tapi syukur Alhamdulillah saya merasa “beruntung” lantaran NU Online, situs resmi milik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mulai saya kenal sejak tahun 2009 silam. 

Ceritanya sekira tahun 2011 saat saya mengantar anak didik saya di MA Walisongo Pecangaan Jepara untuk mengikuti Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) yang diadakan Komunitas Matapena Yogyakarta, saya berkenalan dengan para kru. 

Perkenalan saya dengan kru Matapena selain sebagai pendamping jurnalistik di madrasah tersebut saya juga memperkenalkan diri sebagai Kontributor NU Online. Perkenalan saya pun diterima dengan baik.  

Karena tugas saya waktu itu mengantar murid maka harus mengikutinya sampai rampung (selesai). Biasanya kegiatan berlangsung 3 hari. Di LSdP-LSdP berikutnya dari pihak Matapena punya inisiatif saat saya mengantar murid maka di momen itu saya diajak bergabung untuk menjadi fasilitator. 

“Tugas saya jadi “double”. Mengantar murid serta saya jadi fasilitator.” Tak hanya jadi fasilitator kadang kala menjadi pemateri penulisan kreatif. Sesuai dengan materi-materi yang disampaikan kepada para peserta. 

Ada beberapa pesantren di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pernah saya singgahi. Di antaranya Pesantren Kaliopak Yogyakarta, Pesantren Al Mahally Yogyakarta, Pesantren Tambakberas Jombang, Pesantren Gondanglegi Malang dan Pesantren Mukhtar Syafaat Banyuwangi. Untuk Pesantren di Jepara yang waktu itu ditempati untuk pelaksanaan LSdP yakni di Pesantren Balekambang dan Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara. 

Pondok-pondok yang saya singgahi semuanya untuk LSdP. Sedangkan Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur tahun 2012 lalu untuk kegiatan Gerakan Santri Indonesia Menulis (GSIM). Kerjasama Komunitas Matapena Yogyakarta dengan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI). 

Waktu itu ditunjuk sebagai salah satu fasilitator bersama Kang Humam Rimba dari Kebumen, Jawa Tengah bagi saya merupakan kebahagiaan tersendiri. Karena di dalam satu kelas bisa memaparkan materi tentang esai dan feature untuk sekitar 50an mahasiswa penerima beasiswa dari Kemenag RI.  

Singgah di beberapa pesantren di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY menurut saya ada pengalaman tersendiri. Mengapa? Karena meskipun tidak pernah nyantri tetapi perjalanan dari rumah menuju pesantren-pesantren tersebut seolah-seolah saya nyantri kilat. 

Di pesantren-pesantren itu saya bisa bermukim 3 hari. Sehingga banyak hal saya dapat. Bisa mengenal kiai-kiai pesantren, benar-benar hidup di pesantren meski dalam waktu yang singkat, maupun bisa berinteraksi dengan santri-santri di seluruh Nusantara. 

Di samping itu bisa berinteraksi juga dengan sastrawan-sastrawan nasional. Misalnya D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Joni Ariadiana, Slamet Gundono dan masih banyak lagi.  

Berkenalan dengan NU Online 
Saya mulai kenal dengan NU Online tahun 2009 silam. Orang yang kali pertama memberikan informasi tentang NU Online ialah sahabat saya, Zakki Amali (saat itu pegiat LPM Paradigma STAIN Kudus). Lha dia dikasih tahu, Qomarul Adib yang waktu itu lebih dulu mengirim warta untuk NU Online. 

Saat Zakki nginep di kosku untuk mengikuti Pelatihan Menulis Artikel yang diselenggarakan oleh Kompas Jateng ia “membujukku” dengan menunjukkan berita-berita yang telah dimuat di NU Online. Sehingga saat kali pertama setelah dikabari itu saya mulai tertarik. 

Saya masih ingat betul warta kali pertama yang saya bikin ialah saat Habiburrahman El-Shirazy atau yang akrab disapa Kang Abik hadir di MA Walisongo Pecangaan Jepara. Kang Abik kebetulan mengisi motivasi menulis untuk siswa. 

Karena baru pertama menulis berita (warta, red.) butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan berita yang panjangnya 1 halaman lebih itu. Setelah jadi Alhamdulillah dimuat. Dan warta tentang kedatangan Kang Abik masih saya ingat sampai sekarang. Dari pengalaman itu saya pun rutin untuk mengirim warta ke NU Online.    

Lambat laun untuk mengirim berita tidak memerlukan wartu yang lama. Seperempat hingga setengah jam sudah selesai satu berita karena harus saya edit sebelum dikirim ke dapur redaksi. 

Mengabdi di NU Online sejak 2009 sampai sekarang bagi saya beda ketika bekerja di media mainstream. Di NU Online itu tidak ada target berita yang harus dikirim. Sementara kalo bekerja di media mainstream mesti ada target. 

Meski begitu di awal-awal saya gabung punya target yang harus disyairkan. Syukur. Alhamdulillah saya juga pernah sebagai Kontributor yang teraktif mengirimkan dan waktu itu memperoleh apresiasi dari redaksi. 

Hal lain yang bisa dilakukan oleh Kontributor di mana pun berada, Kontributor bisa menulis warta di kegiatan yang diikutinya. Ini tentu sangat beda dengan media-media yang lain. Sebagai Kontributor NU Online di Jepara saya juga bisa meliput kegiatan di Kudus, Semarang maupun tempat yang lain. 

Jadi Kontributor NU itu sudah seperti wartawan yang lain. Sejak 2009 saya sering diundang untuk mengisi pelatihan-pelatihan di sekolah/ madrasah, kampus, pesantren dan organisasi sosial kemasyarakatan (ormas). 

Selain itu karena Kabupaten Jepara terdiri dari 16 Kecamatan dan 1 Kecamatan berada di Kepaulauan jadi tidak mungkin saya mengkover sendirian. 

Syukur Alhamdulillah beberapa pengurus Banom, Lembaga di lingkungan PCNU Kabupaten Jepara sudah ada yang inisiatif mengirimkan rilis agar saya forward ke NUO. 

Meski begitu masih banyak Nahdliyin yang belum punya kesadaran untuk menyiarkan kegiatannya untuk NUO. Sudah saya arahkan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kadang mereka abai. 

Sehingga saya masih mendambakan Kontributor-Kontributor NU itu lahir dari Jepara. Sebenarnya sudah ada beberapa sahabat yang pernah mengirimkan wartanya tetapi keistiqamahannya masih kurang. 

Jika lahir Kontributor NU dari Jepara bagi saya menambahkan penyemangat. Karena saya tidak sendiri. Kita bisa sama-sama syiar untuk NU via NU Online. (Syaiful Mustaqim)      

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng