Mas Budi di bengkel miniaturnya. (Foto: Syaiful Mustaqim) |
Budi Mulyo, adalah insan kreatif dari Jepara. Meski dianugerahi Tuhan
dengan fisik serba terbatas, semangat menafkahi keluarga tetap membara. Berawal
bekerja serabutan (seadanya), Mas Budi, sapaan akrabnya mulai merambah
usaha lain, merintis kerajinan miniatur dari limbah kayu.
Ceritanya waktu SMA setiap Ruwah (Sya’ban, red.) saat tradisi
Baratan (untuk memeriahkan Nifsu Sya’ban) dirinya membuat mobil-mobilan dari rembulung
(atap daun sagu/ gabus). Baginya mobil-mobilan itu belum bernilai jual mahal.
Dari inspirasi itu muncul gagasan untuk mengembangkannya. Karya pertama
yang dibikin suami Nur Chasanah berbentuk bus pariwisata. Meski kecil ukurannya,
bentuknya persis dengan bus aslinya. Kelihaiannya itu tak lain karena darah
seni ukir mengalir dari dirinya. Dengan bekal belajar ukir di kota kelahirannya
jadilah miniatur itu.
Di tahun 2015 pasca pembuatan miniatur pria kelahiran Jepara, 14 Januari
1972 dia diundang Kementerian Sosial RI untuk mengikuti event Hari Disabilitas
Nasional dengan memamerkan produknya.
Miniatur Mas Budi pun makin dikenal. Beberapa kali pameran mulai diikuti
baik Jakarta, Temanggung, Semarang dan Jepara. Berkat kepeduliannya
melestarikan produk dari limbah kayu sejumlah tokoh membeli produknya. Sebut
saja Ganjar Pranowo (pejabat), Ihwan Sudrajat (pejabat), Masrikan (politisi) dan
Komunitas Gaz membeli produknya.
Menurut pria yang tinggal di desa Pecangaan Kulon RT. 02 RW. 02
kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara ini butuh waktu 15 hari untuk
menyelesaikan 1 produk. Sedangkan harga yang dibanderol kisaran Rp. 1.5
– 4 juta.
Tak hanya menggantungkan dari usaha miniatur, Mas Budi juga berjualan
tenun Troso dan Kaligrafi. Barang-barang dirinya dapatkan dari teman-temannya.
Untuk pemasarannya dilakukan via online maupun offline.
Mas Budi, Ketua Bina Akses Jepara. (Foto: Syaiful Mustaqim) |
Peduli Disabilitas
“Orang lain bisa mengapa kita tidak.” “Kekurangan adalah sebuah
kelebihan.” Merupakan motivasi untuk menyambung hidup kaum disabilitas. Jauh
sebelum ia menekuni usaha sebagai perajin miniatur kepedualiannya sesama kaum
disabilitas sudah digelorakan.
Terbukti sejak 2011 sampai sekarang Budi Mulyo sebagai ketua Bina Akses,
komunitas disabilitas. Sejak berdiri hingga kini ada 250 anggota. Kegiatan
rutin dipusatkan di kediamannya. Setiap 1 bulan sekali ada pertemuan rutin.
Di samping itu juga ada event insidental. Di antaranya
kegiatan-kegiatan yang diajak kerja sama oleh pihak-pihak terkait. Misalnya
pemberdayaan perempuan, industri, sosial dan juga relawan demokrasi.
Mas Budi yang tamatan SMA ini menuturkan pelatihan-pelatihan yang kerap
diikuti oleh anggotanya merupakan bekal pengetahuan. “Untuk actionnya
bisa para anggota yang mengeksekusi,” tuturnya.
Untuk pelatihan ukir maka yang didelegasikan adalah mereka yang punya keinginan
belajar dan menekuni ukir. Untuk training menjahit diserahkan ibu-ibu
yang suka dengan mesin jahit.
Dirinya mengakui meski ratusan anggotanya memiliki fisik yang serba
kekurangan. Namun produk-produk karya anggotanya bisa dikatakan istimewa. Ia
menyontohkan salah satu anggotanya yang menekuni usaha ukir, hasil produknya
bagus juga punya pelanggan.
“Meski taraf pendidikan anggota kami jenjang pendidikannya tidak mumpuni
namun hasil ukir yang dibuatnya malah melebihi yang mempunyai jenjang akademik,”
tandasnya.
Begitu pula anggota yang berprofesi sebagai penjahit, hasil jahitannya
juga tak kalah dengan penjahit profesional. Mereka juga punya pelanggan tetap
sebagai mereka yang lain.
Pihaknya berkomitmen, bahwa kaum disabilitas bukanlah peminta-minta.
“Kami tidak mau dibelaskasihani tetapi memilih untuk dilayani,” harap Budi. (Syaiful Mustaqim)
NB : Naskah ini menjadi juara harapan Sayembara Kisah Inspiratif [SKI] yang diadakan NU Care - Lazisnu tahun 2018.
ConversionConversion EmoticonEmoticon