Menapaki
perjalanan mengajar di separo
semester genap ini ada hal-hal unik, menarik hingga yang nyleneneh. Semisal saat ditanyai temen se-kampus dulu, guru, ibu-ibu penjual nasi di warung,
tetangga dan saudara tentu jawabannya tidak perlu panjang dan lebar. Singkat saja. “Ngajar dimana kang?” tanya seorang kakak angkatan se-kampus. “Sekuro,”
jawabku. Si penanya,
karena cukup lama hijrah di kota,
jadi belum familiar dengan kampung itu.
Saya pun menyebut Mlonggo. “Kok adoh
yo kang!”
Jaraknya
memang lumayan jauh. Sekitar 45 menitan hingga 1 jam-an. Biasanya saya sering meyakinkan
teman, “dijalani ndisik kang!” begitu
caraku meyakinkan.
“Bisyarohe kang?” Wah ini pertanyaan
yang sering ditanyakan. Jika soal itu muncul “jurus”-pun harus dikeluarkan.
“Bisyarohe off the record. Rahasia lembaga.”
Sering kujawab begitu.
Jika penanya
masih ngeyel, saya harus
menjelaskannya lagi. Berkhidmah,
mengabdi bagi saya jangan lantas diukur dengan nominal duit. Bisyaroh yang kita
terima adalah rezeki dari sang pencipta. Wajib disyukuri. Apalagi kalo ditanya cucuk (layak, red) apa tidak. Saya tidak
banyak komentar.
“Kalo pengen layak bisyaroh (gajinya, red) mending jadi PNS,” bathinku. Wong yang jadi PNS kadang-kadang bilangnya
masih kurang dan kurang kok. Tentu, lebih baik yang berkhidmah jadi “Pegawai Neng Swasta” (PNS) tetapi rezekinya cukup.
Cukup untuk keperluan apa saja.
Dilain
waktu, seorang ibu guru SD dulu ketemu
di warung. “Kerjo ten pundi dek?”
tanyanya yang pagi itu sudah berseragam dinas.
“Ten Mlonggo.” Ia pun menanya lagi soal
pekerjaanku. “Guru.” Jawabku singkat.
“Guru
agama nggeh mas?” tebaknya saat saya
bilang lulusan IAIN. Mendengar tebakan spontan itu saya hanya bisa tersenyum.
Kok seolah-olah ya yen kuliah jurusan agama kudu ngajar
mapel agama. Menurut saya ini pikiran yang terlalu pendek. Padahal temen-temen se-kampus dulu banyak pula
yang ngajarnya “belum singkron”. Lulusan PAI mengajar Kewirausahaan, Ekonomi, Sejarah,
Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi.
Apa ini
“sisi lain” dari jebolan PTAI. Mereka mampu “menguasai” disiplin ilmu yang
tidak didapatkan di bangku kuliahnya. Tentu tidak jadi masalah asal “mau” dan “mampu”.
Cerita
itu hampir sejenis dengan titel I (Islam, red) yang “tidak ditulis” dalam piagam
saat mengikuti Sosialisasi Kurikulum di salah satu sekolah negeri. Waktu itu
saya mewakili sekolah untuk mapel Bahasa Indonesia. Saya pun terheran-heran
saat mengambil sertifikat ternyara huruf yang saya katakana sakral itu (I, red)
hilang. Entah kemana. (Syaiful Mustaqim)
2 komentar
Click here for komentar:D saluuut pak,,,
Replybiasa saja sich anonim....
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon