Bagi kelas II Bahasa, mapel Matematika boleh dibilang pelajaran yang kasihan banget. Karena mapel itu di kelas kami adalah mapel tambahan. Untuk kelas IPA sich barangkali menjadi pelajaran yang amat penting tetapi bagi kelas kami tidak begitu penting. Karena mapel itu di kelas III Bahasa nggak bakal di-UN-kan. Makanya kami cuek ketika mendapatkan pelajaran itu.
Tak tahu kenapa, waktu itu meski sudah memilih jurusan Bahasa masih ada juga Matematika, Sosiologi dan Antrolopogi. Ternyata usut punya usut, tahun 2002 silam jurusan Bahasa baru dibuka di sekolah kami. Kalo jurusan IPA, IPS dan Keagamaan sudah sejak ada zaman dulu kala. Karena masih kelas II sehingga mapel yang seharusnya diajarkan hanya untuk jurusan IPA dan IPS juga dimasukkan di kelas Bahasa meski jam tatap mukanya hanya 1 jam dalam seminggu.
Imbasnya, saat mapel MTK tiba, cuma sedikit siswa yang mendengarkan pelajaran. Kalo dihitung sekitar 5 siswa saja yang mendengarkan. Apalagi gurunya sama sekali tidak galak. Sehingga membuat teman-teman tambah rame sendiri kalo diajar. Pak gurunya juga sangat baik hati, kalo menyuruh siswa maju mengerjakan tugas tetapi siswanya tidak mau maju ya dibiarkan. Tidak dimarah-marahi. Pokoknya enak banget.
Kondisi itu berbeda banget ketika mapel Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Kami spaneng semua. Maklum guru Bahasa Inggris-nya galak. Siswa yang pas-pasan kalo lagi diajar bisanya cuma menundukkan kepala. Kalo ditanya nggak bisa jawab, kode etiknya diem. Itu sudah cukup. Teman-teman yang bisa tambah bisa sedangkan yang blank semakin blank. Yang penting nganut.
Sedangkan saat pelajaran Bahasa Arab meski gurunya nggak galak tetapi kondisi kelas serius. Sebab pada mendengarkan. Apalagi ustadz jika menyampaikan pelajaran ngopeni siswa yang ilmunya pas-pasan. Pokoknya yang serba pas-pasan akan diajar sampai bisa.
Begitulah nasib MTK yang kasihan banget di kelas kami. Karena dulu kami memang masih pelajar maka membiarkan pelajaran sudah menjadi hal biasa. Tanpa berdosa. Tetapi jika suatu saat berjumpa lagi dengan guru Matematika hanya maaf yang mampu terucap dari siswa-siswa yang kini sudah beranjak dewasa. (sm)
Tak tahu kenapa, waktu itu meski sudah memilih jurusan Bahasa masih ada juga Matematika, Sosiologi dan Antrolopogi. Ternyata usut punya usut, tahun 2002 silam jurusan Bahasa baru dibuka di sekolah kami. Kalo jurusan IPA, IPS dan Keagamaan sudah sejak ada zaman dulu kala. Karena masih kelas II sehingga mapel yang seharusnya diajarkan hanya untuk jurusan IPA dan IPS juga dimasukkan di kelas Bahasa meski jam tatap mukanya hanya 1 jam dalam seminggu.
Imbasnya, saat mapel MTK tiba, cuma sedikit siswa yang mendengarkan pelajaran. Kalo dihitung sekitar 5 siswa saja yang mendengarkan. Apalagi gurunya sama sekali tidak galak. Sehingga membuat teman-teman tambah rame sendiri kalo diajar. Pak gurunya juga sangat baik hati, kalo menyuruh siswa maju mengerjakan tugas tetapi siswanya tidak mau maju ya dibiarkan. Tidak dimarah-marahi. Pokoknya enak banget.
Kondisi itu berbeda banget ketika mapel Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Kami spaneng semua. Maklum guru Bahasa Inggris-nya galak. Siswa yang pas-pasan kalo lagi diajar bisanya cuma menundukkan kepala. Kalo ditanya nggak bisa jawab, kode etiknya diem. Itu sudah cukup. Teman-teman yang bisa tambah bisa sedangkan yang blank semakin blank. Yang penting nganut.
Sedangkan saat pelajaran Bahasa Arab meski gurunya nggak galak tetapi kondisi kelas serius. Sebab pada mendengarkan. Apalagi ustadz jika menyampaikan pelajaran ngopeni siswa yang ilmunya pas-pasan. Pokoknya yang serba pas-pasan akan diajar sampai bisa.
Begitulah nasib MTK yang kasihan banget di kelas kami. Karena dulu kami memang masih pelajar maka membiarkan pelajaran sudah menjadi hal biasa. Tanpa berdosa. Tetapi jika suatu saat berjumpa lagi dengan guru Matematika hanya maaf yang mampu terucap dari siswa-siswa yang kini sudah beranjak dewasa. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon