AHMAD ZAINUDDIN, adik kandung ibuku sudah tua renta. Usianya sudah beranjak setengah abad minus lima tahun. Tetapi ia masih berstatus lajang. Teman-teman seangkatannya selain telah berkeluarga, keturunan mereka sudah lebih dari satu dan beranjak dewasa.
Pihak keluarganya tidak tinggal diam. Lek Yanto serta istrinya Halimah, mbah Tarmi, ibuku dan Ustadz Zainul sejak berusaha mencarikan pasangan yang terbaik untuk lek Din. Mulai tetangga, penduduk kampung hingga perempuan kota lain. Tetapi berbagai usaha itu masih nihil. Perempuan-perempuan yang dipilihkan belum ada yang cocok.
Sudah ada puluhan gadis yang mereka tawarkan akan tetapi hasilnya belum ada kepastian dari lelaki yang berprofesi kemasan. Alih-alih membuat lek Yanto kesal. Kesal karena pilihan-pilihan yang sudah ia tujukan untuk lek Din diabaikan begitu saja. Terkadang lek Yanto marah-marah kepada adiknya itu.
“Njalukmu seng piye tho lek?” tanya lek Riyanto pada Zainuddin dengan logat Jawa ngoko. Lek Din hanya terdiam. Kemudian ia memberi penjelasan bahwa ia ingin mendapatkan gadis cantik dan sudah memiliki pekerjaan. Jawaban itu dimentahkan oleh lek Yanto. “Lek-lek wes tuwo kok njaluke reko-reko. Wes tuwo yo sak entuke.” Begitu jawaban dari pamannya.
Lek Yanto memang terkenal egoismenya, berbeda dengan Ibuku. Meski Ibuku juga turut memilihkan jodoh untuk adiknya tetapi bila belum disetujui olehnya Ibuku tak lantas marah. Tetapi beliau adalah orang yang paling bijaksana. Ibu tidak pernah pesimis apalagi marah-marah kepadanya. Ibu masih tetap mencarikannya yang terbaik sampai berhasil.
Pernah suatu ketika aku membincangkan pamanku kepada Ibu. Aku malah dimarah-marahi oleh Ibu kemudian aku kini tak berani membantahnya. Sebab aku suudzon yang berlebihan kepada lek Din. Dalam pikiran pendekku kenapa paman tidak segera memilih salah satu puluhan gadis yang ditawarkan kepadanya. Ibu mulai memberi penjelasan, jodoh tidak mengenal batas usia. Jika belum waktunya meski sudah tua sekalipun ya belum dapat juga.
Ibu memberi petuah kepadaku, dalam memilih jodoh yang terpenting adalah ikhtiar. Kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana. Begitu nasihat dari Ibu.
Di kampung, sosok pamanku menjadi bahan omongan warga. Mayoritas warga mencemooh jika pamanku jejaka yang tak laku-laku. Hingga akhirnya terkadang membuat sakit-sakitan mbah Tarmi karena sering mendengarkan gunjingan-gunjingan itu. Mbah Tarmi, ibunda tercinta Zainuddin akhirnya meminta Ibuku untuk mencarikan sekaligus memaksanya untuk segera menikah.
Ada dua pilihan yang ditawarkan untuknya. Pertama, ia dipilihkan perempuan beda kecamatan. Umurnya 32 tahun. Perempuan itu sudah mandiri, bekerja sendiri. Sedangkan pilihan kedua, adalah tetangga belakang rumahnya. Umurnya 27 tahun dan belum bekerja sendiri masih membantu Ibunya berjualan.
Ia masih bingung untuk menentukan pilihannya. Ibuku selalu membujuknya untuk segera menikah. Setelah memilih dan memilah akhirnya ia memutuskan memilih pasangan hidupnya kepada tetangganya sendiri. Yakni perempuan yang berusia 27 tahun.
Proses peminangan hingga pernikahan dilaksanakan dengan secepatnya. Akhirnya kedua pasangan resmi duduk di pelaminan. Jadilah mereka pasangan mempelai baru. Sejak saat itu pamanku semakin bertambah semangat untuk bekerja karena sudah didampingi seorang istri. Kemana-mana selalu pergi berdua.
Gunjingan dari masyarakat lambat laun semakin hilang. Boleh dikata omongan-omongan negatif dari warga tamatlah sudah.
Baginya, menikah adalah anugerah. Anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya untuk saling berpasangan-pasangan. Meski ia menikah dalam usia yang sudah senja tapi baginya adalah hikmah dari ikhtiar. Sebab jodoh merupakan hak preogratif Allah. Manusia boleh berikhtiar tetapi Tuhan yang paling menentukan.
Buktinya, jodoh puluhan tahun yang ia cari kesana kemari ternyata jodohnya berada di belakang rumah. Yakni tetangganya sendiri. “Semoga kami menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah,” doa lek Din.
Ibunda tercinta, kini mulai lega setelah anaknya menanggalkan masa lajangnya. Sakit-sakitan yang pernah terjadi pada mbah Tarmi sekarang tak dijumpai lagi. (sm)
Dipublikasikan : Antologi Motivasi, Sukses Mini untuk Sukses Maxi, FLP Depok 2011
Pihak keluarganya tidak tinggal diam. Lek Yanto serta istrinya Halimah, mbah Tarmi, ibuku dan Ustadz Zainul sejak berusaha mencarikan pasangan yang terbaik untuk lek Din. Mulai tetangga, penduduk kampung hingga perempuan kota lain. Tetapi berbagai usaha itu masih nihil. Perempuan-perempuan yang dipilihkan belum ada yang cocok.
Sudah ada puluhan gadis yang mereka tawarkan akan tetapi hasilnya belum ada kepastian dari lelaki yang berprofesi kemasan. Alih-alih membuat lek Yanto kesal. Kesal karena pilihan-pilihan yang sudah ia tujukan untuk lek Din diabaikan begitu saja. Terkadang lek Yanto marah-marah kepada adiknya itu.
“Njalukmu seng piye tho lek?” tanya lek Riyanto pada Zainuddin dengan logat Jawa ngoko. Lek Din hanya terdiam. Kemudian ia memberi penjelasan bahwa ia ingin mendapatkan gadis cantik dan sudah memiliki pekerjaan. Jawaban itu dimentahkan oleh lek Yanto. “Lek-lek wes tuwo kok njaluke reko-reko. Wes tuwo yo sak entuke.” Begitu jawaban dari pamannya.
Lek Yanto memang terkenal egoismenya, berbeda dengan Ibuku. Meski Ibuku juga turut memilihkan jodoh untuk adiknya tetapi bila belum disetujui olehnya Ibuku tak lantas marah. Tetapi beliau adalah orang yang paling bijaksana. Ibu tidak pernah pesimis apalagi marah-marah kepadanya. Ibu masih tetap mencarikannya yang terbaik sampai berhasil.
Pernah suatu ketika aku membincangkan pamanku kepada Ibu. Aku malah dimarah-marahi oleh Ibu kemudian aku kini tak berani membantahnya. Sebab aku suudzon yang berlebihan kepada lek Din. Dalam pikiran pendekku kenapa paman tidak segera memilih salah satu puluhan gadis yang ditawarkan kepadanya. Ibu mulai memberi penjelasan, jodoh tidak mengenal batas usia. Jika belum waktunya meski sudah tua sekalipun ya belum dapat juga.
Ibu memberi petuah kepadaku, dalam memilih jodoh yang terpenting adalah ikhtiar. Kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana. Begitu nasihat dari Ibu.
Di kampung, sosok pamanku menjadi bahan omongan warga. Mayoritas warga mencemooh jika pamanku jejaka yang tak laku-laku. Hingga akhirnya terkadang membuat sakit-sakitan mbah Tarmi karena sering mendengarkan gunjingan-gunjingan itu. Mbah Tarmi, ibunda tercinta Zainuddin akhirnya meminta Ibuku untuk mencarikan sekaligus memaksanya untuk segera menikah.
Ada dua pilihan yang ditawarkan untuknya. Pertama, ia dipilihkan perempuan beda kecamatan. Umurnya 32 tahun. Perempuan itu sudah mandiri, bekerja sendiri. Sedangkan pilihan kedua, adalah tetangga belakang rumahnya. Umurnya 27 tahun dan belum bekerja sendiri masih membantu Ibunya berjualan.
Ia masih bingung untuk menentukan pilihannya. Ibuku selalu membujuknya untuk segera menikah. Setelah memilih dan memilah akhirnya ia memutuskan memilih pasangan hidupnya kepada tetangganya sendiri. Yakni perempuan yang berusia 27 tahun.
Proses peminangan hingga pernikahan dilaksanakan dengan secepatnya. Akhirnya kedua pasangan resmi duduk di pelaminan. Jadilah mereka pasangan mempelai baru. Sejak saat itu pamanku semakin bertambah semangat untuk bekerja karena sudah didampingi seorang istri. Kemana-mana selalu pergi berdua.
Gunjingan dari masyarakat lambat laun semakin hilang. Boleh dikata omongan-omongan negatif dari warga tamatlah sudah.
Baginya, menikah adalah anugerah. Anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya untuk saling berpasangan-pasangan. Meski ia menikah dalam usia yang sudah senja tapi baginya adalah hikmah dari ikhtiar. Sebab jodoh merupakan hak preogratif Allah. Manusia boleh berikhtiar tetapi Tuhan yang paling menentukan.
Buktinya, jodoh puluhan tahun yang ia cari kesana kemari ternyata jodohnya berada di belakang rumah. Yakni tetangganya sendiri. “Semoga kami menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah,” doa lek Din.
Ibunda tercinta, kini mulai lega setelah anaknya menanggalkan masa lajangnya. Sakit-sakitan yang pernah terjadi pada mbah Tarmi sekarang tak dijumpai lagi. (sm)
Dipublikasikan : Antologi Motivasi, Sukses Mini untuk Sukses Maxi, FLP Depok 2011
ConversionConversion EmoticonEmoticon