Ilustrasi (wisatahits.blogspot.com) |
Menjelang datangnya Idul Fitri (1 Syawal) Kalinyamatan, salah satu kecamatan di kabupaten Jepara terdapat tradisi Maleman. Tradisi yang telah berjalan 80-an silam, kini makna religiusitas yang termaktub didalamnya semakin memudar.
Maleman merupakan tradisi yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Dulu, tradisi itu dilaksanakan karena keterlambatan pemerintah dalam mengumumkan ketetapan 1 Syawal. Saking lamanya menunggu hingga larut malam, warga Kalinyamatan (dulu--bergabung dengan Pecangaan) berinisiatif menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga menyambut Idul Fitri serta menanti pengumuman dari pemerintah (Tempo, 19/09/2008).
Maleman, tidaklah berbeda dengan tradisi Dandangan di Kudus maupun Dugderan di Semarang. Yang membedakannya, Dandangan dan Dugderan ditradisikan dalam menyambut 1 Ramadhan. Sedangkan, Maleman digelar untuk menanti datangnya 1 Syawal (Suara Merdeka CyberNews, 02/12/2009).
Dulu hingga sekarang tradisi itu tetaplah ada. Jika, tahun 2000-an stand-stand pedagang berada di sepanjang desa Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo. Aneka hiburan anak dan remaja dipusatkan barat kali (sungai) Margoyoso atau barat pasar lama. Namun, seiring padatnya arus lalu lintas apalagi jalan raya Margoyoso-Kriyan-Purwogondo merupakan jalur utama menuju Jepara, Kudus, Demak dan Semarang stand-stand yang ada harus dialihkan untuk menghindari kemacetan lalu lintas pada malam hari.
Sejak awal Ramadhan tiba para pedagang yang berasal dari Jepara, Kudus, Semarang, Demak, Solo, Yogyakarta serta beberapa kota di Jawa Timur mulai mendirikan stand berupa pakaian, sandal, sepatu, makanan, beraneka asesoris hingga beraneka hiburan mainan anak-anak.
Sekarang, stand-stand itu berdiri di sepanjang jalan Purwogondo hingga lapangan sepakbola Kenari. Ditambah stand dari Masjid Baiturrohman, Purwogondo ke utara hingga kawasan benih Palawija, Kalinyamatan. Sementara aneka mainan anak dan remaja (komedi putar, tong setan, istana hantu, ombak banyu dan mandi bola) disentralkan di utara kantor KUA Kalinyamatan. Keramaian Maleman makin marak dengan adanya pusat jajanan kuliner maupun pedagang pakaian yang berada di depan pasar Kalinyamatan.
Meskipun Kalinyamatan saat ini dikepung oleh pelbagai mini market, distro maupun toko busana, keramaian Maleman masih tetap nampak. Sepuluh hari menjelang Idul Fitri, puncaknya tiga hari menjelang 1 Syawal, ribuan manusia memadati area Maleman. Kehadiran warga tentunya untuk memenuhi kebutuhan menjelang hari raya.
Pudarnya Religiusitas
Maleman merupakan tradisi yang kaya nilai religiusitas (keagamaan). Tradisi itu dilaksanakan dalam bulan Ramadhan sehingga warga sedang khusyuk menunaikan puasa, shalat maktubah, tarawih, tadarus Qur'an, majlis taklim maupun kajian ke-Islam-an. Di sekolah dan madrasah sedang menjalankan pesantren kilat untuk para peserta didik. Sedangkan, pondok pesantren sedang melaksanakan tradisi tahunannya, posonan untuk para santri.
Sisi keagamaan lain nampak pada warga yang mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan melakukan ritual doa, shalat malam untuk mencapai Lailatul Qadar hingga mendermakan harta berupa infak, zakat dan sedekah. Hal itu, yang menurut penulis sebagai religiusitas tradisi Maleman.
Akan tetapi, religiusitas Maleman seakan memudar ketika ditumpangi dengan beberapa laku negatif. Masih banyak ditemukan warung makan yang buka pada pagi dan siang hari, pasangan muda-mudi berbuat mesum di sembarang tempat, pencopet memanfaatkan momentum keramaian untuk melakukan aksinya, balapan liar di jalan raya hingga pemuda yang menenggak minuman keras. Sehingga, nuansa religiusitas itu tercemar oleh ulah warga yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karenanya, untuk mengantisipasi makin pudarnya Maleman perlu kerjasama berbagai pihak. Pemerintah desa, kecamatan maupun pemerintah kabupaten memberikan himbauan, perhatian maupun peringatan kepada penjual untuk mengalihkan berjualan pada sore dan malam hari. Aparat keamanan bekerjasama pemuda Karang Taruna, Anshor maupun Muhammadiyyah berhak menegur dan mengamankan setiap perilaku negatif yang dilakukan para pemuda.
Sementara pemuka agama lebih getol menyiarkan agama kepada seluruh elemen masyarakat. Selain syiar agama tentang perkara halal-haram apa yang disampaikan untuk umat mengena dan lambat laun bisa menyadarkan. Begitu juga orang tua mengontrol setiap perilaku yang dijalankan oleh anak-anaknya. Melalui kerjasama berbagai pihak niscaya tradisi Maleman yang kaya nilai religiusitas tidak akan dikotori lagi oleh hal-hal yang bermuara kepada sisi negatif. Semoga! (SYAIFUL MUSTAQIM)
Maleman merupakan tradisi yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Dulu, tradisi itu dilaksanakan karena keterlambatan pemerintah dalam mengumumkan ketetapan 1 Syawal. Saking lamanya menunggu hingga larut malam, warga Kalinyamatan (dulu--bergabung dengan Pecangaan) berinisiatif menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga menyambut Idul Fitri serta menanti pengumuman dari pemerintah (Tempo, 19/09/2008).
Maleman, tidaklah berbeda dengan tradisi Dandangan di Kudus maupun Dugderan di Semarang. Yang membedakannya, Dandangan dan Dugderan ditradisikan dalam menyambut 1 Ramadhan. Sedangkan, Maleman digelar untuk menanti datangnya 1 Syawal (Suara Merdeka CyberNews, 02/12/2009).
Dulu hingga sekarang tradisi itu tetaplah ada. Jika, tahun 2000-an stand-stand pedagang berada di sepanjang desa Margoyoso, Kriyan dan Purwogondo. Aneka hiburan anak dan remaja dipusatkan barat kali (sungai) Margoyoso atau barat pasar lama. Namun, seiring padatnya arus lalu lintas apalagi jalan raya Margoyoso-Kriyan-Purwogondo merupakan jalur utama menuju Jepara, Kudus, Demak dan Semarang stand-stand yang ada harus dialihkan untuk menghindari kemacetan lalu lintas pada malam hari.
Sejak awal Ramadhan tiba para pedagang yang berasal dari Jepara, Kudus, Semarang, Demak, Solo, Yogyakarta serta beberapa kota di Jawa Timur mulai mendirikan stand berupa pakaian, sandal, sepatu, makanan, beraneka asesoris hingga beraneka hiburan mainan anak-anak.
Sekarang, stand-stand itu berdiri di sepanjang jalan Purwogondo hingga lapangan sepakbola Kenari. Ditambah stand dari Masjid Baiturrohman, Purwogondo ke utara hingga kawasan benih Palawija, Kalinyamatan. Sementara aneka mainan anak dan remaja (komedi putar, tong setan, istana hantu, ombak banyu dan mandi bola) disentralkan di utara kantor KUA Kalinyamatan. Keramaian Maleman makin marak dengan adanya pusat jajanan kuliner maupun pedagang pakaian yang berada di depan pasar Kalinyamatan.
Meskipun Kalinyamatan saat ini dikepung oleh pelbagai mini market, distro maupun toko busana, keramaian Maleman masih tetap nampak. Sepuluh hari menjelang Idul Fitri, puncaknya tiga hari menjelang 1 Syawal, ribuan manusia memadati area Maleman. Kehadiran warga tentunya untuk memenuhi kebutuhan menjelang hari raya.
Pudarnya Religiusitas
Maleman merupakan tradisi yang kaya nilai religiusitas (keagamaan). Tradisi itu dilaksanakan dalam bulan Ramadhan sehingga warga sedang khusyuk menunaikan puasa, shalat maktubah, tarawih, tadarus Qur'an, majlis taklim maupun kajian ke-Islam-an. Di sekolah dan madrasah sedang menjalankan pesantren kilat untuk para peserta didik. Sedangkan, pondok pesantren sedang melaksanakan tradisi tahunannya, posonan untuk para santri.
Sisi keagamaan lain nampak pada warga yang mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan melakukan ritual doa, shalat malam untuk mencapai Lailatul Qadar hingga mendermakan harta berupa infak, zakat dan sedekah. Hal itu, yang menurut penulis sebagai religiusitas tradisi Maleman.
Akan tetapi, religiusitas Maleman seakan memudar ketika ditumpangi dengan beberapa laku negatif. Masih banyak ditemukan warung makan yang buka pada pagi dan siang hari, pasangan muda-mudi berbuat mesum di sembarang tempat, pencopet memanfaatkan momentum keramaian untuk melakukan aksinya, balapan liar di jalan raya hingga pemuda yang menenggak minuman keras. Sehingga, nuansa religiusitas itu tercemar oleh ulah warga yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karenanya, untuk mengantisipasi makin pudarnya Maleman perlu kerjasama berbagai pihak. Pemerintah desa, kecamatan maupun pemerintah kabupaten memberikan himbauan, perhatian maupun peringatan kepada penjual untuk mengalihkan berjualan pada sore dan malam hari. Aparat keamanan bekerjasama pemuda Karang Taruna, Anshor maupun Muhammadiyyah berhak menegur dan mengamankan setiap perilaku negatif yang dilakukan para pemuda.
Sementara pemuka agama lebih getol menyiarkan agama kepada seluruh elemen masyarakat. Selain syiar agama tentang perkara halal-haram apa yang disampaikan untuk umat mengena dan lambat laun bisa menyadarkan. Begitu juga orang tua mengontrol setiap perilaku yang dijalankan oleh anak-anaknya. Melalui kerjasama berbagai pihak niscaya tradisi Maleman yang kaya nilai religiusitas tidak akan dikotori lagi oleh hal-hal yang bermuara kepada sisi negatif. Semoga! (SYAIFUL MUSTAQIM)
ConversionConversion EmoticonEmoticon