Jepara dan Gairah Membaca

Sumber: Suara Merdeka, 28 September 2009

Ketika
duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang.

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedi yang terpajang diruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

Puisi karya Taufiq Ismail “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia,” diatas menggambarkan budaya membaca negeri ini yang sangat jauh berbeda dengan di mancanegara. Sebab, di negara maju, kita bisa melihat mayoritas orang yang sedang asyiknya membaca di taman-taman, halte, stasiun, dan bandara. Hal itu belum bisa kita temukan di hampir seluruh pelosok negeri ini. Begitu pula dengan di kabupaten Jepara.

Jepara, dalam konteks kekinian masih penulis asumsikan sebagai daerah yang ketinggalan, khususnya dalam hal membaca. Membaca lebih spesifiknya dikaitkan dengan menulis; dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sebab, mendiang Pramoedya Ananta Toer pernah menuturkan orang yang menulis akan dikenang oleh segala zaman. Berarti, setelah seseorang membaca ada kewajiban untuk menulis, agar yang telah dibacanya tidaklah menjadi sia-sia.

Memang, gairah membaca dan menulis di kota yang berjuluk kota Ukir ini sangatlah minim. Hal ini terbukti, minimnya wong Jepara yang gemar menulis. Ini bisa dilihat, setiap hari, banyak sekali media cetak yang diterbitkan. Namun, hampir penulis yang karyanya di muat di pelbagai media cetak tersebut tak banyak yang menggunakan embel-embel Jepara. Kalau pun ada bisa di hitung dengan hitungan jari.

Ini berbeda dengan lain daerah. Pati, Kudus, Semarang, Batang, Solo dan lain sebagainya akan ditemukan banyak sekali penulis-penulis berbakat. Mereka bisa dipastikan sering mewarnai media dengan berbagai wacana. Barangkali tak hanya koran harian ini saja, namun di media lain sekalipun.

Selanjutnya, masih sedikitnya pecandu membaca. Kalau Jepara memang masyarakat pembaca, barangkali akan kita temukan pemandangan laiknya di beberapa Negara maju. Nyatanya, jarang kita temukan siswa, guru, dosen, karyawan, dan profesi lain melakukan hal itu. Aktivitas membaca barangkali hanya ditemukan di lembaga pendidikan maupun di perpustakaan saja.

Jika demikian, maka kita (baca: orang Jepara) belum mewarisi jerih payah pahlawan emansipasi kita. Sebab, R.A kartini, yang dilahirkan di Mayong, Jepara, bisa diasumsikan perempuan yang demen akan budaya baca. Sehingga, kumpulan-kumpulan korespondensinya diterbitkan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Artinya, Kartini memang pecandu membaca, analoginya, kalau dia tidak suka membaca, barangkali tidak akan mengirimkan surat-surat untuk kerabatnya yang berada di Belanda.

Soekarno, Moh Hatta, Bj Habibie, Gus Dur pun demikian. Mereka menjadi orang besar bukan secara kebetulan tetapi karena budaya membaca dan menulis sehingga mereka di kenal dalam kancah nasional bahkan internasional. Sementara, Pramoedya Ananta toer, Buya Hamka, Haji Agus Salim, dan sebagainya, yang tidak pernah menempuh pendidikan yang lebih tinggi, namun dengan hobi membaca-menulis secara otodidak, mereka pun tumbuh menjadi ilmuwan, budayawan dan tokoh intelektual yang mumpuni.

Membangun Budaya Baca
Menarik. Membaca artikel saudara Mukodi, “Budaya Membaca Masyarakat Jepara” disalah satu media lokal. Menurutnya, budaya membaca masyarakat Jepara masih sangat rendah. Sehingga, alumnus UIN Sunan Kalijaga ini berharap akan kontiunitas pengadaan bazar buku murah.

Mahalnya harga buku di negeri ini, merupakan salah satu penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku. Buku lebih identik dengan “kaum terdidik,” sedangkan masyarakat umum belum familiar dengan buku.

Langkah konkretnya, Mukodi berharap, pemerintah dalam hal ini bisa menjalin kerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun organisasi kemasyarakatan lainnya mengadakan bazar buku murah. Misalnya dengan melaksanakan bazar buku baik di perguruan tinggi, sekolah maupun dipelosok desa.

Lebih lanjut, jebolan Pascasarjana UIN Jogja ini juga lebih berharap agar perpustakaan di Jepara di maksimalkan. Perpustakaan merupakan keniscayaan dalam mengakrabkan buku ke masyarakat. Keberadaan perpustakaan Kecamatan di Jepara masih “langka”, bahkan bisa dikatakan belum ada.

Maka, untuk menyiasatinya, pemerintah perlu membangun perpustakaan di setiap desa, paling tidak di lingkup kecamatan terdapat satu perpustakaan. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan perpustakaan keliling dan Koran dinding yang dipampang di setiap sudut-sudut pusat keramaian.

Yang terpenting, budaya baca perlu disosialisasikan sejak dini khususnya di lingkungan sekolah. Sebab, menurut penulis tak banyak siswa yang dalam setiap hari mengonsumsi Koran. Mengonsumsi koran, bukan berarti membaca halaman pertama hingga terakhir, namun siswa membaca rubrik yang memang di sukainya. Guru, karyawan pun harus demikian, kalau menginginkan siswanya demen membaca, guru harus mengawalinya.

Begitu juga, buruh pabrik, pedagang kaki lima, tukang ojek, dan profesi lain kalau memang Jepara tidak menginginkan ketinggalan dengan daerah lain mulailah membaca dari sekarang.

Solusi Alternatif
Jepara memang sudah terkenal pelbagai macam kerajinannya hingga di mancanegara. Akan tetapi dalam hal membaca dan menulis masih tertinggal jauh. Satu hal terpenting, Jepara membutuhkan komunitas penulis Jepara. Setidaknya, komunitas itu merupakan wadah untuk membangkitkan budaya membaca, diskusi, dan menulis.

Sehingga tak salah kedepan penulis Jepara benar-benar mewarnai di banyak media. Sebenarnya, kita (baca: Jepara) mempunyai orang-orang sekaliber M. Saifuddin Alia, Muhlis Suhaeri, Rumadi, MA Rumawi Eswe, Ikhwanul Muslimin dan lain sebagainya. Barangkali karena pemerintah dalam hal ini kurang memperhatikan keberadaan maupun track record (sepak terjang) mereka. Apalagi banyak masyarakat kita yang belum mengenalnya, sehingga mereka lebih enjoy ketika tinggal ditempat tinggalnya yang sekarang.

Nah, melalui tulisan ini semoga budaya membaca wong Jepara semakin bergairah. Bukan hanya membaca saja, namun setelah membaca didiskusikan dan aplikasikan dalam tulisan, sehingga nantinya Jepara bukan lagi kota yang minim akan penulisnya (orang yang pinter menulis), akan tetapi sangat mewarnai di banyak media. Semoga! (Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »