Kawin Muda


HENI, gadis belia yang genap berusia tujuh belas tahun ini telah melangsungkan perkawinannya dua tahun silam. Perempuan yang kediamannya dibelakang rumah saya ini telah memiliki satu anak laki-laki, usianya menginjak satu tahun. Sementara, suaminya adalah tetangga depannya persis sehingga saat perayaan pernikahannya kedua keluarga sepakat untuk menyewa satu buah tratak (tenda) karena saking dekatnya.

Berbicara tentang latar belakang pendidikan, dia belum selesai menuntaskan jenjang pendidikannya hingga kelas sembilan, sekolah menengah pertama. Akan tetapi drop out ditengah jalan.

Sementara itu, Wulan, beda lagi kisahnya. Meski baru menginjak usia lima belas tahun, dirinya harus siap melangsungkan pernikahannya baru-baru ini. Hingga, dia harus putus sekolah sampai kelas delapan (SMP). Menurut penuturan seorang teman, Wulan dinikahi oleh gurunya yang masih muda dan belum beristri. Saking ngebetnya pak guru itu, akhirnya kedua keluarga bersepakat untuk mengawinkan mereka.

Atas pernikahan itu pula, kini, Wulan dan suaminya memang harus menerima sangsi sosial dari almamaternya. Sebab, secara tidak langsung kejadian tersebut telah mencoreng citra buruk sekolah swasta yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal saya.

Ya, begitulah kultur masyarakat desa yang masih saja melekat hingga saat ini. Perempuan-perempuan yang semestinya bisa melangsungkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus terjebak pada problema kawin muda. Sebuah kultur pernikahan yang belum bisa ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.

Alasannya, jika seorang perempuan harus menuntut ilmu setinggi-tingginya pun toh nantinya tugasnya hanya di dapur, kasur dan sumur. Melalui pernyataan itulah yang menjadikan kawin di usia muda masih menunjukkan eksistensinya. Sehingga, masyarakat desa yang menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi bisa dihitung dengan hitungan jari dan masih sangat langka. Sebaliknya, di desa yang ada hanya perempuan-perempuan yang menggendong dan merawat anak-anaknya meski mereka masih sangat muda.

Dengan demikian, pertama, orang tua merasa bahagia ketika anak-anaknya telah melangsungkan perkawinan. Kedua, bapak serta ibu secara otomatis akan gugur tuntas kewajibannya merawat anaknya dan secara tidak dilangsung telah diambil alih oleh suami.

Anehnya lagi, dibeberapa desa pinggiran, perempuan-perempuan yang masih duduk dibangku sekolah dasar telah lama diintai maupun diincar oleh para lelaki tetangga-tetangganya sendiri. Bila sudah waktunya mereka akan datang untuk meminang perempuan-perempuan tersebut meski mereka masih duduk dibangku sekolah entah SD, SMP maupun SMA. Sebagai pembuktian, diberikanlah sebuah cincin ataupun dengan yang lain sebagai tanda pertunangan. Sementara, orang tua perempuan hanya mengamini pertunangan tersebut.

Tentunya, hal itu hanya terjadi di desa-desa yang masih sangat tradisional, sebuah desa yang masih jauh dari jangkauan arus perkotaan.

Fenomena kawin muda di desa barangkali masih akan tetap subur manakala tidak ada golongan yang mau merubah paradigma itu. Kawin, merupakan hal akan dituju oleh laki-laki maupun perempuan di pelosok manapun. Sementara dalam koridor agama, nikah merupakan hal yang disunahkan oleh Nabi. Bila sudah masanya seorang adam maupun hawa kudu melangsungkan perkawinannya.

Lebih dari itu, terlepas dari koridor atau tidak, paradigma yang semacam itu setidaknya membelenggu perempuan untuk bebas menggapai cita-cita setinggi langit. Perempuan yang semestinya bisa menjadi bekerja di kantor terpaksa harus stand by di rumah menunggui suaminya maupun merawat anak-anak nantinya.

Zaman memang telah lama berubah. Semestinya, paradigma masyarakat desa yang masih takut ketika anak-anaknya terkepung oleh kejamnya era dan nantinya akan menerima dampak negatifnya sudah saatnya mulai berubah. Berubah menjadi masyarakat yang tidak lagi menjunjung kekolotan. Kekolotan bukan berarti harus seratus persen lepas dari pelbagai paradigmanya tetapi tetap berpegang kepada etika.

Kini, saatnya perempuan bebas mencapai pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi tanpa ada yang melarang. Perkara, kawin, tatkala mereka sudah berada dipuncak kemapanan. (Syaiful Mustaqim) 
Previous
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
Anonim
admin
27 Maret 2011 pukul 23.19 ×

saya sangat setuju dengan emansipasi, sekarang mulai banyak wanita yang bekerja, dan pria mengurus rumah tangga. teman saya wanita menjadi seorang dokter dirumah sakit, tetapi suaminya lah yang menjadi bapak rumah tangga. emansipasi atau sebuah ironi? yang pasti apapun namanya dunia sudah gila....

Reply
avatar
admin
admin
29 Maret 2011 pukul 03.18 ×

@anonim: meski dunia sudah gila kita pun tidak diperkenankan untuk ikut-ikutan gila.

Reply
avatar