Ada Ekstra Rebana di “Sekolah Muhammadiyah”

Grup rebana Panti Asuhan MD Margasari Tegal. (pwmjateng.com)
Sekolah dan madrasah yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU mengadakan kegiatan bakat minat ekstra rebana barangkali sudah menjadi hal biasa. Bagaimana jika sekolah berlabel Muhammadiyah mengadakan kegiatan ekstra yang di dalamnya nguri-nguri tradisi nahdliyin yang sudah turun temurun?

Salah satu sekolah di jenjang menengah atas di Semarang, melestarikan ekstra rebana. Ketua PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Provinsi Jawa Tengah, HM Faojin menjelaskan bahwa sekolah yang pernah dikunjunginya sebagai Pengawas Sekolah ada ekstra rebana sehingga tak jarang sekolah tersebut mengadakan kegiatan maulidan, rajaban, dan lain sebagainya.

“Malah rebananya lebih bagus dari kita,” terang Faojin saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Pendidikan yang diadakan PC Pergunu Jepara di MI Darul Hikmah Menganti, Kedung, Jepara, Ahad (16/2/2020).

Karena tidak biasa ada di sekolah Muhammadiyah, Ketua Pergunu Jateng ini pun tanya kepada Kepala Sekolah. Kebetulan kepala sekolah tersebut seorang perempuan. Ia pun membeberkan kepada anggota Pergunu Jepara yang mengikuti kegiatan tersebut.

“Tidak ada rebana sekolah jadi ‘kering’ Pak.” Begitu jawab kepala sekolah tersebut yang membuat Pak Faojin ada rasa bangga di hatinya.

Jika tiada kegiatan bernafas Islami ini masih lanjut Bu Kepala yang ada hanya kegiatan-kegiatan yang monoton semisal memarahi anak yang bandel, dan sebagainya.

Dengan salah satu sampel yang ada di sekolah Muhammadiyah di Semarang ini tambah Faojin tidak lain karena keberhasilan Wali dan Ulama mengembangkan Islam di Indonesia yang salah satunya dengan jalur budaya.

Sekolah Muhammadiyah mengadakan ekstra rebana tidak bisa dikalkulasi 100%. Bagi saya itu tergantung kepada kebijakan sekolah masing-masing. Barangkali tidak hanya di beberapa sekolah Muhammadiyah saja, sekarang ini kegiatan ekstra rebana yang khas dengan shalawat-shalawatnya juga marak di sekolah-sekolah yang berlabel Islam Terpadu (IT) dan sekolah negeri. Motifnya apa tentu terserah sekolah masing-masing.

Kembali ke Muhammadiyah, Prof Amin Abdullah seperti dijelaskan Faojin membagi warga MD menjadi 3 kelompok. Pertama, MuNu (Muhammadiyah NU). Artinya, organisasi yang diikuti MD tetapi juga mengamalkan tradisi-tradisi NU. Seperti tahlilan, yasinan, dan lain-lain. Kelompok yang pertama ini bisa jadi karena kediamannya dekat dengan warga NU sehingga kerap diundang untuk kenduri yang mau tidak mau harus datang sebagai penghormatan terhadap tetangga.

Kelompok kedua, menurut analisis Prof Amin disebut MarMu, Marheinisme Muhammadiyah. Kelompok yang kedua ini adalah warga Muhammadiyah tetapi memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Jika di NU ya punya slogan hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. NKRI harga mati dan sebagainya.

Adapun kelompok yang ketiga, MuWahabi, beridelologi Muhammadiyah tetapi lebih condong kepada ajaran Wahabi. Saya kok jadi membayangkan, jika kepala sekolah Muhammadiyah adalah kelompok yang terakhir ini. “Ekstra rebana haram. Ekstra rebana bid’ah. Silakan dilanjut sendiri…,” pungkas saya mengakhiri catatan di blog ini. (Syaiful Mustaqim)
Previous
Next Post »