Pentas teater. (Dokumentasi Samudra) |
Tidak selamanya generasi tua akan terus eksis dalam ranah apa pun. Kelak generasi muda yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Begitu pula dengan sastra. Jika saat ini kelompok sastra tua yang eksis, beberapa tahun yang akan datang jika tanpa regenerasi tentu akan punah.
Dinamika ini menjadi kegelisahan kelompok anak muda yang tergabung dalam Sastra Muda Jepara (Samudra). Awal mulanya komunitas ini di awali dari ngumpul-ngumpul di rumah Nur Huda Tauhid yang juga salah satu penggagas komunitas.
Di rumah Nung, sapaan akrab Nur Huda itulah bersama sejumlah teman lain sebut saja Asyari Muhammad, Ngateman, Angkas Muharram dan lain-lain tercetus nama komunitas. Waktu itu tahun 2009 tiada usulan lain selain nama Samudra.
Ya, Samudra berarti Sastra Muda Jepara. Sastra Muda merupakan wadah yang membidangi kelompok anak muda. Karena sebagian anak muda ini belum punya bekal cukup yang biasanya agak ewuh bergabung dengan kelompok tua.
Nama Samudra juga mengilhami luasnya hamparan sebuah Samudera. Sehingga harapannya, anak muda yang tergabung di dalamnya memiliki wawasan luas dalam hal sastra.
Munculnya nama Samudra juga bersamaan dengan undangan dari komunitas Padepokan Seni Murni Asih Kudus. Saat itu sastrawan muda Jepara belum memiliki komunitas laiknya kelompok sepuh. Alhasil kali pertama Samudra menunjukkan kebolehannya dalam pentas musikalisasi puisi.
Bagi Sastra Muda Jepara, komunitas ini bukan sebagai “pesaing” komunitas lain melainkan sebagai wahana belajar maupun sarana silaturrahim kelompok yang lain. Tujuannya untuk menggaraihkan virus sastra anak-anak muda di Jepara.
Komunitas ini terbentuk dari berbagai unsur yang berbeda ada guru, wiraswasta, buruh maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan rutinitas anggota yang berbeda sehingga tidak mampu mengadakan kegiatan rutinitas sebagaimana komunitas lain.
Meski demikian, secara garis besar memiliki dua program baik jangka pendek dan panjang. Program jangka pendek misalnya pentas, pelatihan, workshop maupun road show sastra dan program jangka panjang eksis menerbitkan buku-buku sastra.
Berkait program jangka pendek yang dilakukan misalnya penguatan pembacaan, penulisan baik puisi, cerpen maupun puisi. Meminjam istilah Samudra—warga komunitas harus mumpuni dalam sastra panggung. Lebih detailnya Samudra hendak meracuni kawula muda membaca (sastra panggung, red) dan menulis sastra.
Sedangkan untuk program jangka panjang kelompok ini memberikan alternatif pada anak muda yang kewalahan mengakses media cetak untuk mempublikasikan karya-karya. Karena itu bersamaan dengan berdirinya komunitas sudah mengagendakan program jangka panjang menerbitkan beberapa buku sastra.
Lewat “Samudra Pustaka” pelbagai buku yang sudah diterbitkan diantaranya antologi puisi Bintang Kata (2009), Layar Kehidupan (2010), Sepotong Bulan untukmu (2010), Sebatang Rusuk Untukmu (2010), Penyair Tiga Kota (2011), Wegah Dadi Semar (2012) dan Jejak Sajak (2014).
Dinamika ini menjadi kegelisahan kelompok anak muda yang tergabung dalam Sastra Muda Jepara (Samudra). Awal mulanya komunitas ini di awali dari ngumpul-ngumpul di rumah Nur Huda Tauhid yang juga salah satu penggagas komunitas.
Di rumah Nung, sapaan akrab Nur Huda itulah bersama sejumlah teman lain sebut saja Asyari Muhammad, Ngateman, Angkas Muharram dan lain-lain tercetus nama komunitas. Waktu itu tahun 2009 tiada usulan lain selain nama Samudra.
Ya, Samudra berarti Sastra Muda Jepara. Sastra Muda merupakan wadah yang membidangi kelompok anak muda. Karena sebagian anak muda ini belum punya bekal cukup yang biasanya agak ewuh bergabung dengan kelompok tua.
Nama Samudra juga mengilhami luasnya hamparan sebuah Samudera. Sehingga harapannya, anak muda yang tergabung di dalamnya memiliki wawasan luas dalam hal sastra.
Munculnya nama Samudra juga bersamaan dengan undangan dari komunitas Padepokan Seni Murni Asih Kudus. Saat itu sastrawan muda Jepara belum memiliki komunitas laiknya kelompok sepuh. Alhasil kali pertama Samudra menunjukkan kebolehannya dalam pentas musikalisasi puisi.
Bagi Sastra Muda Jepara, komunitas ini bukan sebagai “pesaing” komunitas lain melainkan sebagai wahana belajar maupun sarana silaturrahim kelompok yang lain. Tujuannya untuk menggaraihkan virus sastra anak-anak muda di Jepara.
Komunitas ini terbentuk dari berbagai unsur yang berbeda ada guru, wiraswasta, buruh maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan rutinitas anggota yang berbeda sehingga tidak mampu mengadakan kegiatan rutinitas sebagaimana komunitas lain.
Meski demikian, secara garis besar memiliki dua program baik jangka pendek dan panjang. Program jangka pendek misalnya pentas, pelatihan, workshop maupun road show sastra dan program jangka panjang eksis menerbitkan buku-buku sastra.
Berkait program jangka pendek yang dilakukan misalnya penguatan pembacaan, penulisan baik puisi, cerpen maupun puisi. Meminjam istilah Samudra—warga komunitas harus mumpuni dalam sastra panggung. Lebih detailnya Samudra hendak meracuni kawula muda membaca (sastra panggung, red) dan menulis sastra.
Sedangkan untuk program jangka panjang kelompok ini memberikan alternatif pada anak muda yang kewalahan mengakses media cetak untuk mempublikasikan karya-karya. Karena itu bersamaan dengan berdirinya komunitas sudah mengagendakan program jangka panjang menerbitkan beberapa buku sastra.
Lewat “Samudra Pustaka” pelbagai buku yang sudah diterbitkan diantaranya antologi puisi Bintang Kata (2009), Layar Kehidupan (2010), Sepotong Bulan untukmu (2010), Sebatang Rusuk Untukmu (2010), Penyair Tiga Kota (2011), Wegah Dadi Semar (2012) dan Jejak Sajak (2014).
Pentas Teater. (Dokumentasi Samudra) |
Ruang Berkarya
Mimin Irawati merupakan salah satu diantara penulis yang karyanya termaktub dalam Bintang Kata (2009). Alumnus SMAN 1 Jepara ini merasa senang dengan kehadiran Samudra. Samudra bagi ia merupakan sarana untuk berkarya.
“Saya senang banget karena lewat Samudra merupakan ruang untuk menuangkan ekspresi karya-karya saya,” jelas Mimin.
Disamping untuk berkarya juga merupakan kebanggaan tersendiri karena bisa berkarya bersama dengan sesama penulis dari Jepara. Hal lain diuraikan Nita Lustia. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang alumnus SMAN 1 Jepara ini lebih condong untuk belajar dari Samudra lewat sastra panggungnya.
Dengan kegigihan dan kemauannya yang keras tak salah jika semenjak masih duduk di bangku SMAN 1 Jepara Nita kerap memenangi lomba baca puisi baik tingkat kabupaten maupun provinsi.
Wadah Pentas
Di tahun yang sama tak jauh dari kediaman ketua Samudra, Asyari Muhammad desa Margoyoso kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara didirikan Taman Baca.
Taman Baca ini merupakan ruang untuk membaca. Disamping itu tempat ini merupakan ruang untuk pentas. Siapa saja boleh mengapresiasikan karya-karyanya baik musik, teater, drama tari dan lainnya.
Diantara sejumlah komunitas yang pernah pentas yakni “Dhemit” Njawa Teater (Kudus), Pembacaan Puisi “Bila Cinta Tak Sampai” dan Pentas Monolog “OH” karya Putu Wijaya oleh Nani Tandjung dan Sutarno SK, Bulan Layar Tancap, Pentas Budaya, Lomba Baca Puisi Samudra Award dan lain-lain.
Asyari Muhammad, penggagas berdirinya Samudra mengatakan Sastra Muda dan taman baca bagi lelaki kelahiran 02 Januari 1984 ini tidak bisa dipisahkan. Samudra merupakan komunitas untuk menggaet anak muda untuk bersastra.
Bersastra baginya tidak hanya yang sudah berprofesional. “Yang masih pemula perlu terus didorong agar semangatnya semakin meningkat,” tegasnya.
Caranya bagi guru Seni Budaya MTs Balekambang Jepara ini dengan memberikan apresiasi. Bintang Kata (2009) dan Layar Kehidupan (2010) merupakan misal strategi dia menghargai karya sastra para pemula.
Dalam dua antologi puisi ini merupakan sekumpulan pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum yang menurut dia yang tak punya “tempat” untuk bersastra. Dari buku ini merupakan “tempat” bagi mereka.
Responnya sangat positif. Dengan kehadiran Samudra Pustaka anak-anak muda Jepara ini merasa karyanya “diajeni” dan diapresiasi. Karena belum tentu ada media yang menampung karya-karya mereka.
Sedangkan keberadaan taman baca merupakan ruang untuk mempererat jejaring kesenian di tingkat daerah maupun nasional. Jaringan ini kata Asyari, sapaan akrabnya perlu diberikan ruang untuk menunjukkan kebolehannya. Dari jalinan itu tidak hanya komunitas luar daerah pentas di Jepara, Samudra juga kerap pentas di luar daerah.
Dinamika Komunitas
Sebuah komunitas tentu mengalami pasang surut kegiatan. Apalagi komunitas ini lahir dari pegiat-pegiat yang beda rutinitas. Dengan kesibukan masing-masing personil menjadikan sesama anggota jarang bertemu karena memiliki waktu longgar yang berbeda.
Sehingga membutuhkan waktu khusus untuk bertemu dan berproses. Meski demikian komunitas harus tetap digelorakan. Dalam membangun komunitas akan menemui suka dan duka.
Sukanya lanjut Asyari jika telah berkegiatan baik pentas maupun menerbitkan buku. Dukanya, jika kegiatan minim pendanaan. Tentu akan mengganjal laju kegiatan. Misalnya, ada pentas keluar kota namun belum ada dana maka anggota bantingan duit sendiri.
Mau menerbitkan buku juga demikian. Jika tak ada dana khusus maka penulis yang karyanya turut termaktub di minta iuran untuk penerbitan. Harapannya agar penerbitan buku tetap berjalan.
Menurut Asyari secara umum pemerintah atau pihak terkait belum menyupport sepenuhnya komunitas. Sumber pendanaan lebih didorong dan dibantu oleh teman seniman.
Pemerintah terkait hanya membantu pendanaan ala kadarnya. Apalagi komunitas ini urai dia belum memiliki Surat Pendirian Organisasi (SPO) sehingga untuk mengakses pendanaan dari pihak terkait masih sangat susah.
Samudra berharap kegiatan sastra di Jepara terus mengalami perkembangan. Agar berkembang tentu membutuhkan dukungan dari pemerintah setempat. Misalnya saja komunitas yang program jangka panjangnya eksis menekuni dunia penerbitan buku perlu mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah.
Saat akan menerbitkan buku pihak terkait diharapkan siap mengucurkan bantuannya untuk kelancaran penerbitan. Sehingga Samudra bisa bertahan untuk menerbitkan karya-karyanya. Sebab jika Samudra tetap eksis bukan untuk komunitas semata namun juga untuk eksistensi sastra di Jepara pada khususnya dan sastra di Indonesia pada umumnya.
Untuk berkomunikasi lebih lanjut dengan Samudra bisa datang langsung ke base camp: Jalan Kauman I No.01 desa Margoyoso RT.03 RW.02 kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara 59467. Atau bisa menghubungi kontak person 081 326 437 384 (Asyari Muhammad). (sm)
Mimin Irawati merupakan salah satu diantara penulis yang karyanya termaktub dalam Bintang Kata (2009). Alumnus SMAN 1 Jepara ini merasa senang dengan kehadiran Samudra. Samudra bagi ia merupakan sarana untuk berkarya.
“Saya senang banget karena lewat Samudra merupakan ruang untuk menuangkan ekspresi karya-karya saya,” jelas Mimin.
Disamping untuk berkarya juga merupakan kebanggaan tersendiri karena bisa berkarya bersama dengan sesama penulis dari Jepara. Hal lain diuraikan Nita Lustia. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang alumnus SMAN 1 Jepara ini lebih condong untuk belajar dari Samudra lewat sastra panggungnya.
Dengan kegigihan dan kemauannya yang keras tak salah jika semenjak masih duduk di bangku SMAN 1 Jepara Nita kerap memenangi lomba baca puisi baik tingkat kabupaten maupun provinsi.
Wadah Pentas
Di tahun yang sama tak jauh dari kediaman ketua Samudra, Asyari Muhammad desa Margoyoso kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara didirikan Taman Baca.
Taman Baca ini merupakan ruang untuk membaca. Disamping itu tempat ini merupakan ruang untuk pentas. Siapa saja boleh mengapresiasikan karya-karyanya baik musik, teater, drama tari dan lainnya.
Diantara sejumlah komunitas yang pernah pentas yakni “Dhemit” Njawa Teater (Kudus), Pembacaan Puisi “Bila Cinta Tak Sampai” dan Pentas Monolog “OH” karya Putu Wijaya oleh Nani Tandjung dan Sutarno SK, Bulan Layar Tancap, Pentas Budaya, Lomba Baca Puisi Samudra Award dan lain-lain.
Asyari Muhammad, penggagas berdirinya Samudra mengatakan Sastra Muda dan taman baca bagi lelaki kelahiran 02 Januari 1984 ini tidak bisa dipisahkan. Samudra merupakan komunitas untuk menggaet anak muda untuk bersastra.
Bersastra baginya tidak hanya yang sudah berprofesional. “Yang masih pemula perlu terus didorong agar semangatnya semakin meningkat,” tegasnya.
Caranya bagi guru Seni Budaya MTs Balekambang Jepara ini dengan memberikan apresiasi. Bintang Kata (2009) dan Layar Kehidupan (2010) merupakan misal strategi dia menghargai karya sastra para pemula.
Dalam dua antologi puisi ini merupakan sekumpulan pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum yang menurut dia yang tak punya “tempat” untuk bersastra. Dari buku ini merupakan “tempat” bagi mereka.
Responnya sangat positif. Dengan kehadiran Samudra Pustaka anak-anak muda Jepara ini merasa karyanya “diajeni” dan diapresiasi. Karena belum tentu ada media yang menampung karya-karya mereka.
Sedangkan keberadaan taman baca merupakan ruang untuk mempererat jejaring kesenian di tingkat daerah maupun nasional. Jaringan ini kata Asyari, sapaan akrabnya perlu diberikan ruang untuk menunjukkan kebolehannya. Dari jalinan itu tidak hanya komunitas luar daerah pentas di Jepara, Samudra juga kerap pentas di luar daerah.
Dinamika Komunitas
Sebuah komunitas tentu mengalami pasang surut kegiatan. Apalagi komunitas ini lahir dari pegiat-pegiat yang beda rutinitas. Dengan kesibukan masing-masing personil menjadikan sesama anggota jarang bertemu karena memiliki waktu longgar yang berbeda.
Sehingga membutuhkan waktu khusus untuk bertemu dan berproses. Meski demikian komunitas harus tetap digelorakan. Dalam membangun komunitas akan menemui suka dan duka.
Sukanya lanjut Asyari jika telah berkegiatan baik pentas maupun menerbitkan buku. Dukanya, jika kegiatan minim pendanaan. Tentu akan mengganjal laju kegiatan. Misalnya, ada pentas keluar kota namun belum ada dana maka anggota bantingan duit sendiri.
Mau menerbitkan buku juga demikian. Jika tak ada dana khusus maka penulis yang karyanya turut termaktub di minta iuran untuk penerbitan. Harapannya agar penerbitan buku tetap berjalan.
Menurut Asyari secara umum pemerintah atau pihak terkait belum menyupport sepenuhnya komunitas. Sumber pendanaan lebih didorong dan dibantu oleh teman seniman.
Pemerintah terkait hanya membantu pendanaan ala kadarnya. Apalagi komunitas ini urai dia belum memiliki Surat Pendirian Organisasi (SPO) sehingga untuk mengakses pendanaan dari pihak terkait masih sangat susah.
Samudra berharap kegiatan sastra di Jepara terus mengalami perkembangan. Agar berkembang tentu membutuhkan dukungan dari pemerintah setempat. Misalnya saja komunitas yang program jangka panjangnya eksis menekuni dunia penerbitan buku perlu mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah.
Saat akan menerbitkan buku pihak terkait diharapkan siap mengucurkan bantuannya untuk kelancaran penerbitan. Sehingga Samudra bisa bertahan untuk menerbitkan karya-karyanya. Sebab jika Samudra tetap eksis bukan untuk komunitas semata namun juga untuk eksistensi sastra di Jepara pada khususnya dan sastra di Indonesia pada umumnya.
Untuk berkomunikasi lebih lanjut dengan Samudra bisa datang langsung ke base camp: Jalan Kauman I No.01 desa Margoyoso RT.03 RW.02 kecamatan Kalinyamatan kabupaten Jepara 59467. Atau bisa menghubungi kontak person 081 326 437 384 (Asyari Muhammad). (sm)
Dipublikasikan: Para Penjaga Kata; Kiprah Komunitas Sastra di Jawa Tengah, diterbitkan Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah, cetakan pertama November 2014.
ConversionConversion EmoticonEmoticon