Foto sekadar ilustrasi. (Foto: id.upost.info) |
Suatu senja di akhir pekan, Ahad (9/5/2019) saya bersama beberapa sahabat silaturahmi di rumah seorang kiai. Kebetulan kita hanya rombongan berempat.
Sebagai laki-laki sendiri dalam rombongan tersebut, saya pun yang harus membuka komunikasi dengan kiai yang pernah nyanti di Magelang tersebut.
Waktu seperempat jam pun sudah berlalu. Kode-kode dari sahabat putri sudah dimulai, pertanda silaturahmi untuk segera dipungkasi.
Sebagai koordinator rombongan jamaah saya mulai panik karena sang kiai baru mengomsumsi kacang open dan belum habis. Dan kode-kode terus dilancarkan jamaah putri.
"Yi ngalap cekap, kulo sak rencang ngaturaken sugeng riyadi, maaf lahir bathin," kata-kata itu reflek terucap karena kode-kode jamaah putri yang kian tegas.
Pak Kiai bergegas menanggapi. Selain dawuh soal pentingnya bermaaf-maafan beliau juga berpesan soal penyakit iri yang mesti dihindari. Senja itu beliau menegaskan bahwa sumber penyakit bukan dari siapa-siapa melainkan dari diri sendiri.
Kami pun berpamitan. Kacang-kacang yang masih tersisa yang belum beliau dahar digenggamnya dengan erat.
Kucium tangan sang kiai. Disusul jamaah perempuan tetapi cukup dengan salam penghormatan. (sm)
Sebagai laki-laki sendiri dalam rombongan tersebut, saya pun yang harus membuka komunikasi dengan kiai yang pernah nyanti di Magelang tersebut.
Waktu seperempat jam pun sudah berlalu. Kode-kode dari sahabat putri sudah dimulai, pertanda silaturahmi untuk segera dipungkasi.
Sebagai koordinator rombongan jamaah saya mulai panik karena sang kiai baru mengomsumsi kacang open dan belum habis. Dan kode-kode terus dilancarkan jamaah putri.
"Yi ngalap cekap, kulo sak rencang ngaturaken sugeng riyadi, maaf lahir bathin," kata-kata itu reflek terucap karena kode-kode jamaah putri yang kian tegas.
Pak Kiai bergegas menanggapi. Selain dawuh soal pentingnya bermaaf-maafan beliau juga berpesan soal penyakit iri yang mesti dihindari. Senja itu beliau menegaskan bahwa sumber penyakit bukan dari siapa-siapa melainkan dari diri sendiri.
Kami pun berpamitan. Kacang-kacang yang masih tersisa yang belum beliau dahar digenggamnya dengan erat.
Kucium tangan sang kiai. Disusul jamaah perempuan tetapi cukup dengan salam penghormatan. (sm)
ConversionConversion EmoticonEmoticon