Oleh Syaiful Mustaqim
Dulu, sewaktu masih sekolah sebagai peserta didik punya rasa ta’dhim (menghormati) kepada guru. Wujud penghormatan kepada orang tua kedua diaktualisasikan dengan hormat dan patuh kepada perintahnya, mengerjakan tugas maupun pekerjaan rumah mungkin. Kini, penghormatan kepada mereka semakin memudar bersamaan laju perkembangan informasi dan teknologi yang mahadahsyat.
Buktinya, mulai jarang peserta didik hormat dan patuh. Mau patuh dan hormat jika guru “enak” caranya untuk transfer of knowledge. Sebaliknya, guru akan “dicuekin” semau mereka sendiri. Membantah perintahnya menjadi sarapan setiap hari apalagi datang telat ke sekolah sudah menjadi kebiasaan.
Maraknya penggunaan jejaring sosial, Facebook yang mestinya untuk sarana penunjang edukatif oleh peserta didik alih-alih digunakan untuk kebutuhan negative mulai menuliskan “status” dengan diksi yang tidak sopan hingga pemasangan foto layaknya bintang “syur”. Lebih dari itu, siswa yang kecanduan tembakau, merokok pun di sembarang tempat meski masih mengenakan seragam. Hingga, tidak sedikit pula para pelajar yang “terlanjur” berhubungan intim dengan lawan jenis.
Pada titik ini, moralitas peserta didik dipertanyakan keabsahannya. Moralitas berasal dari kata sifat Latin moralis artinya sama dengan ‘moral’ tetapi bermakna lebih abstrak; berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya moral suatu perbuatan yang dinilai baik buruknya. Sehingga, moralitas berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Pada sebuah kesempatan pidato, seorang Kepala Sekolah menegaskan makna moralitas yang seharusnya ditingkatkan oleh peserta didik. “Saya masih bisa tertawa kalau mendengar kabar siswa “tidak lulus” dalam Ujian Nasional. Tetapi saya menangis jika melihat anak didik moralitasnya menurun drastis,” begitu isi nasihatnya.
Makanya, disaat moralitas peserta didik semakin memudar sebagai seorang guru sesuai dengan filosofi Jawa-nya harus benar-benar “digugu lan ditiru”. Guru menjadi suri tauladan yang baik pada anak didiknya. Bila peserta didik melakukan kesalahan mesti dihukum yang bermuara edukatif. Sebagai orang tua pun demikian, harus senantiasa mengontrol (mengawasi) “gerak-gerik” anaknya. Sebab, guru tidak mungkin bisa memantau siswa selama 24 jam non-stop tanpa dukungan penuh dari wali murid.
Yang paling penting adalah peserta didik harus bisa membedakan antara hitam (buruk) dan putih (baik). Meski “aib” bakal ditanggung oleh pihak sekolah dan orang tua nantinya tetapi resiko terbesar sebenarnya diemban oleh pelaku yang bersangkutan yakni peserta didik. (*)
ConversionConversion EmoticonEmoticon